Sore itu, saat Lagi asyik
ngetik review novel ayat-ayat cinta 2,
tiba-tiba lattopnya mati. Aku lihat
casan lampunya tidak menyala. Otak-atik sana-sini, lattop tetap tidak mau
menyala. Berpikir bahwa casannya yang rusak karena sudah sering rusak. Sebulan
yang lalu baru beli chager baru. Menarik napas dalam menenangkan diri. Menunggu
libur dinas baru bisa ke Bandar karena
disini kalau mau beli sesuatu ini rata-rata ngak ada, kalau ngak kepasar
Bandar, itu berarti butuh waktu khusus kesana.
Dua hari kemudian selepas dinas
langsung berangkat ke Bandar. Tapi tiga tempat yang dikunjungi casan ngak mau
masuk dan lattop tetap tidak mau menyala. Seketika gundah gulana menyerang,
wajah penuh guratan resah mulai bergemalayut. Ini bukan masalah ringan
sesederhana casan rusak.
“Mbak ini bukan casan yang
bermasalah tapi tempat colokan yang rusak!”
“Ohw, iya” lemas seketika seluruh
persendian “Apa disini bisa benarin, Om?”
“Ngak bisa, coba mbak kebelakang
bank Mandiri, disana ada tempat service.”
“Oce, terimakasih”
Tanpa banyak kata langsung bergegas
kesana, tak peduli teriknya matahari. Setelah lirik kanan dan kiri mencari
alamatnya. Ketemu juga tempatnya.
“Mbak mau service lattop?” kataku
pada pegawai yang mengenakan baju biru
“Langsung kelantai atas saja mbak!”
Aku menaik tangga setapak demi
setapak dengan seutas harapan bahwa lattop ini bisa benar. Sedikit kaget dengan suasana disana. Semua
laki-laki, tumpukan CPU, printer dan lattop. Ada 4 orang laki-laki yang sedang
menghadap layar lattop. Menarik napas, meski ada aura tidak nyaman pada diri.
Alhmudllah semua sopan-sopan, mungkin karena lihat penampilan yang mengenakan
jilbab.
“Kenapa mbak?”
“Mau benarin lattop, tempat colok casanannya rusak, jadi
ngak bisa ngecas?”
“Ohw ya sudah tak lihat dulunya mbak?”
Dia langsung mengamati dan mencoba berapa kali dengan
chager lattop yang berbeda. Aku duduk termanggu, menunggu selang berapa menit
abangnya datang dan bilang ngak bisa benarin tuh lattop karena alatnya tidak
ada. Akupun menanyakan alamat yang kira-kira bisa service ini lattop, dia
menyarankan sebuah tempat yang ada di pasar. Setelah mengucapkan terimakasih
bergegas kesana. Tapi jawaban tetap sama malah menawarkan suruh beli yang baru
dan tukar tambah. Muter-muter kesana
kemari berkeliling mengintari semua tempat, tetap saja hasilnya nihil. Kakiku
rasanya mau copot.
Entahlah apa yang kurasa saat itu, pastinya bercampur
aduk menjadi satu. Nano-nano rasanya, membayangkan lattop ini rusak dan
menjalani hari-hari tanpa lattop, membuat hati tercabik-cabik. Kehilangan
sesuatu meski ini hanya sebuah benda, tapi bisa dibilang sahabat baik. Mau
kemanapun pergi pasti dibawah. Ada nilai history yang tak akan tergantikan.
Delapan tahun bukan waktu yang singkat , meski sering dipakau tak pernah
sekalipun error kecuali casan. Sungguh tak kuat rasanya.
Melangkahkan kaki ke Masjid yang berada tempat didepan
pasa, tertunduk dipinggiran dengan hati yang resah. Dua hari kemarin saja tanpa latto rasanya
berat benar. Lalu sampai kapan menghabiskan hari sedangkan untuk memperbaiki
pas pulang terlalu lama. Apalagi melihat jadwal dinas yang padat karena
penambahan jam kerja. Tanpa sadar menintik airmata ini, tak bisa terbendung.
Seketika kehilangan semangat dan harapan.
Lattop adalah teman disaar jenuh di kostaan. Hari-hari
terkadang terasa membosankan terobati dengan lattop. Saat libur dinas ngak ada
kerjaan di kosta tetap ada kegiatan yang bisa dilakukan dengan lattop. Bagaimana nanti akau harus melewati hari,
biasanya bangun tidur buka lattop, mau tidur lattop, pulang dan pergi kerja
lattop. Airmataku semakin deras mengalir.
“Kenapa mbak?” Tanya bapak-bapak tempat menitipkan sendal
atau sepatu kalau mau sholat. Dia sudah mengenalku, setiap kali ke Bandar dan
sholat disana.
“Apa dompetnya hilang?” dia memastikan lagi, dengan nada
kasian.
Aku hanya menggelengkan kepala, buru-buru menghapus
airmata. Tak ingin menjadi pusat perhatian, lalu bergegas ke tempa wudhu.
Sholat hajat meminta petunjuk, bersimpuh dan mengadu dengan segala asa. Lumayan
tenang hati.
Terlintas dalam benak akan sesuatu, bukankah ada suatu
tempat yang belum kukunjungi. Aku pernah melihat saat Ke Candra tak jauh dari
sana ada tulisan Service lattop. Bergegaslah
kesanam dengan mengucapkan bismiallah.
“Bisa mbak dibenarin, tapi sekitar dua minggu, dan biaya
lumayan mahal karena harus dibongkar?”
“Ohw, apakah lattop itu bisa benar? Bakal hilang ngak
data-data didalamnya?”
“Ngak bakal hilang mbak, hardisknya tidak rusak?”
“Alhumdullah”
Tanpa pikir panjang langsung bilang iya . Ada sebuah ketenangan yang menyergap,
setidaknya ada harapan lattop itu bisa baikan dan isinya tidak hilang. Sedikit bisa terseyum akan sebuah harapan.
Hari-hari terasa sangat berat tanpa lattop. Pernah
tiba-tiba, bangun tidur buka tas mau ambil lattop. Lattopnya ngak ada, rasanya
sesuatu. Seketika lemas menguatkan diri dan berusaha terseyum. Setiap hari
menghitung pergantian jam, berharap waktu akan cepat berjalan dan lattop itu
bisa pulih. Tetap saja hari itu terlewati dan berasa tidak lengkap dan kurang.
Hingga tiba waktunya, hari jumat bersiap-siap mau ke
Bandar ambil lattop sekalian ke toko buku. Tapi di konfirmasi via telpon, “Mbak
mas bagian service lagi pergi, seperti belum selesai. Besok saya hubungin mbak”
Ya sudah meski sedikit kecewa, mau diapain juga. Ngak
jadi hari itu berangkat ke Bandar. Daripada bolak-balik, sekalian nunggu
konfrmasi dahulu. Mengalihkan perhatian dengan membaca buku biar tidak larut
dalam kesedihan.
Besoknya, bolak-balik lihat HP, siapa tahu ada SMS
konfirmasi tetap saja ngak ada. Siangpun datang, tak sabar rasanya. Langsung
tak hubungin lagi buat dapat kepastian.
“Mbak mau tanya gimana lattopnya?’’
“Sabar, mbak. Lattop masih di service. Nanti dihubungin
kalau sudah benar dan selesai diperbaiki!”
“Kira-kira kapan mbak selesainya?”
“Kan sudah dibilang nanti dihubungin kalau sudah selesai,
semoga senin sudah benar.” Dengan nada
yang kurang bersahabat.
Hancur lebur harapan-harapan itu, Bayangan lattop itu
akan segera pulih segara sirna. Bisa menjalani rutinitas seperti biasa. Kesal,
dongkol, bercampur aduk menjadi satu sehinga memutusakan untuk tidur siang,
untuk menenangkan diri. Seninpun berlalu tanpa sebuah kepastian.
Saat harapan yang tersusun itu hancur, saat itulah aku
tak berani lagi untuk berharap. Iya aku tak yakin apa mungkin lattop bisa benar disana. Ingin
rasanya membatalkan dan mencari tempat service lain. Tapi biarlah dulu
menunggu, sampai akhir bulan.
Berusaha untuk tidak larut dan merusak mimpi-mimpi ini.
Fokus terhadap segala hal. Iya akhirnya memutuskan menyisihkan waktu ke warnet,
meski tempatnya tidaklah kondusif. Tapi apa mungkin harus terus berdiam diri,
sementra waktu terus berjalan. Apa guna meratapi, toh dua minggu penuh harapan
hanya kesia-siaan.Tapi harapan terbesar lattop itu pulih dan data-datanya tak
ada satupun yang hilang, itu saja.
Inilah sepotong kisah hari-hari
tanpa lattop, terasa berat memang, tapi itulah kenyataan yang harus diterima.
Mimpi-mimpi tak boleh pudar, tak boleh berhenti berbuat hanya karena lattop. Dulu aku
pernah hampir kehilangan mimpi-mimpi ini. Dan tak akan kubiarkan hal itu
terjadi, apapun kendala dan kondisi harus tetap tegak berdiri. Meski sendiri,
meski tertatih, meski cucuran keringat serta airmata. Sama sekali mimpi tak
boleh pudar. ^_^
Tiada ulasan:
Catat Ulasan