Berapa
tahun yang lalu, menggunakan transportasi Kereta Api kelas ekonomi menjadi
rutinitas tiap minggu. Saat menjalani kuliah dan harus pulang pergi
Baturaja-Palembang. Awalnya naik kereta
itu sekedar iseng dan untuk menghemat biar bisa beli buku. Pada akhirnya malah
ketagihan dan menjadi transportasi favorite. Ada berapa alasan yang mendasar
yaitu ongkosnya sangat terjangkau dan suatu yang unik tidak ditemui di travel ataupun di bus. Bapak
sama emak sempat marah ketika mengetahui aku naik kereta bukan travel.
“Kereta
itu rawan ! banyak copet ! kamu itu gadis ! Kalau ada apa-apa di jalan siapa
yang nolong kamu, mana ngak ada teman lagi !” Kata emak sama bapak.
Mencoba
menjelaskan pada mereka bahwa kereta itu aman dan banyak orang disana. Tapi
tetap saja kedua orangtua khawatir. Mereka malah menambah uang saku untuk
ongkos kuliah biar bisa naik travel. Tetap saja, aku diam-diam naik kereta api.
Pada akhirnya kedua orangtua menyetujui setelah melihat berapa bulan dan tampak
aman terkendali, anaknya begitu enjoy. Jadilah rutinitas naik kereta itu
kulakoni. Lumayan banget kalau ongkos naik travel 40 ribu dan ongkos kereta 10
ribu, waktu itu. Sisanya buat beli buku bacaan
atau keperluan kuliah. Rasanya tak
tega bila harus meminta bila ada kebutuhan yang tidak terlalu urgent selain
biaya kuliah, termasuk membeli buku bacaan yang tidak ditemui di perpustakaan.
Selain
ongkos sangat bersahabat, ada keunikan yang menarik hatiku disana yaitu setiap
stasiun pemberhentian kereta, maka para pedagang yang mengkais rejeki naik
keatas menawarkan pada kami para penumpang. Setiap stasiun memiliki ciri
khasnya masing-masing, bila stasiun Baturaja terkenal dengan peyek kacang, maka
stasiun Penijauan terkenal dengan buah sawo, stasiun Prabumulih terkenal dengan
lemper ketan. Masing-masing stasiun punya makan spesialnya. Menjadi daya tarik
tersendiri.
Perjalananpun
tidak begitu menjemukan karena satu bangku berisi 2-3 orang dengan bangku yang
saling berhadapan. Selalu ada cerita disetiap penumpang yang kutemui, mengobrol kesana-kesini, hendak kemana dan apa
tujuannya. Suasana seperti begini tak ditemui saat naik travel yang sepanjang
jalan memasang headseat dan terlelap dalam kantuk. Rasa persaudaran yang
terbilang kental. Bila ada yang turun duluan maka akan saling berpamitan
mengucapkan salam.
Selain
itu, disana aku belajar arti sebuah rasa syukur, menatap remaja tagung yang
membawa keranjangan menjajahkan makanan, ibu-ibu lanjut usia tak kalah semangat
menawarkan makanan ringan, bapak-bapak penjual pop mei, harga yang mereka
tawarkan cukup bersahabat dikantong. Harga pop mei 5 ribu rupiah yang telah
diseduh air hangat. Minuman mineral dingin tiga ribuh rupiah. Ada grup pengamen
jalanan yang suara cukup merdu dengan lagu andalan “Ya Saman” dengan alat music
yang mereka modifikasi ada yang terbuat dari botol minuman, biasanya pengamen
ini ada di stasiun prambulih. Mereka menjual suara sekaligus menghibur, dan nampak
para penumpang menikmati itu, terkadang ada yang request lagu. Betapa beruntung
hidupku, tanpa perlu memeras keringat, berpeluh demi kata sesuap nasi.
Meski
kereta penuh dan orang-orang berjubel-jubel, merasa beruntung karena ada yang
berbaik hati menyisihkan bangku untuk duduk. Pernah pedagang pempek yang tampak kasian melihat aku berdiri mengatakan
bahwa diujung sana ada bangku kosong dan menunjuk tempatnya, memang ada tempat
di gerbong paling botot. Bapak-bapak yang rela berdiri, memberikan bangku untuk
di tempati.
Begitulah
kisah-kisah yang kulakoni selama naik kereta, meski orang bilang kereta kelas
ekonomi itu rawan dengan pencurian, dan tindak kejahatan, serta pencaloan.
Begitulah nada-nada yang tersemat, meski tak begitu adanya. Selama bertahun-tahun
naik kereta, dua kali ketemu peristiwa orang menangis karena HPnya hilang.
Aku mengira itu karena kurang kehati-hatian dari mereka. Berapa kali melihat
dengan mata kepala sendiri, saat bapak penjual minuman yang menegur seorang
wanita agar hati-hati dan menunjuk kearah kantong jeansnya yang menyembul HP.
Sebenarnya factor pendukung pencurian itu salah satunya karena adanya
kesempatan.
Saat
berpergian naik kereta aku menyelipkan dompet dibagian paling bawah baru
tumpukan pakainan. Lattop saya bungkus dengan plastik (siapa tahu kehujanan
dijalan) lalu dibungkus dengan pakainan, suatu waktu kalau perlu membuka tas
lattopnya tidak terlihat. Meletakan
dibagian depan photo copy KTP serta sejumlah uang seadanya mudah di jangkau.
Allhamdullah dua tahun melakoni naik kereta, tetap tidak ada cerita kehilangan.
Termasuk pas nunggu angkot malam-malam di depan masjid agung katanya disana
rawan kecopetan, tapi tidak ada kejadian atau peristiwa. Pernah sekali aku
harus berjalan kaki tengah malam karena kereta anjlok sampai di stasiun
kertapati jam 12 lewat, tidak ada lagi angkot ke Bukit. Jalan kaki dengan
suasana hening, dan sepi, bersyukur sampai tujuan dengan selamat. Disana aku
mempelajari suatu hal, bahwa niat jahat itu tercipta saat kita mengundang untuk
orang melirik dan tertarik. Setiap kali naik kereta aku berusaha berpenampilan
simple mungkin, mengenakan jilbab langsungan, jaket, tas ransel. Dengan
mengendong tas ransel didepan dan meneteng tas map plastic berjalan santai. Mungkin orang-orang berpikir hanya seorang
mahasiswa yang pulang dari kampus, pasti tidak ada apa-apa kecuali tugas kuliah
dan uang buat ongkos J
Setelah
lulus kuliah dan bekerja, ada sebersit rindu untuk nostalgia naik kereta kelas
ekonomi, melakoni perjalanan. Tapi kesempatan itu selalu tidak tepat. Berapa
bulan silam akhirnya kesampainan juga niat tersebut, sengaja menginap semalam
biar bisa pulang pagi naik kereta. Sudah berangkat pagi sekali dari kost adik. Terbayang
dulu antrian pajang sampai diluar karena datangnya siang untung masih dapat
tiket. Betapa kagetnya sesampai di loket pembelian tiket. Nampak tidak ada
orang sama sekali. Aku bertanya pada seorang bapak, dan dia bilang bahwa
sekarang tiket kereta sudah bisa beli online, tapi masih bisa beli langsung.
Menunggu sekitar satu jam, sampai loket dibuka dan antrian dibelakangku cuma 4
orang. Tampak disisi kiri ada layar computer, dan orang-orang sibuk memasukan
data dari tiket online yang mereka beli. Sungguh sebuah kemajuan yang
mengagumkan.
Setelah
membeli tiket langsung masuk kedalam, ada deret-deratan kursi dan orang-orang
duduk sambil menunggu. Belum habis kekagetan melihat berbagai perubahan kearah positif.
Dulu kalau sudah beli tiket kita bisa langsung naik keatas gerbong, mencari
tempat duduk. Setelah duduk, menunggu setengah jam, ada pemberitahuan dari
pengeras suara, orangpun pada beranjak, aku mengikuti. Ketakjuban semakin
bertambah, dengan gerbong yang bersih, menggunakan ac serta ada terminal
listrik buat ngecas hp di masing-masing sudut bangku.
Perjalananpun
di mulai, sama seperti yang lalu. Aku menyapa orang yang duduk dihadapanku,
serta disamping. Kami saling mengobrol. Sepasang suami istru itu, hendak ke karang
mengujungi anaknya. Seorang petugas memakai baju batik, dengan penampilan yang
rapi menawarkan makanan dan memberi selembaran kertas, bilamana kami mau
memesan. Sungguh kemajuan yang harus diacungi jempol.
Dibalik
kekagetan dan kekagumanku, ada sebentik rasa rindu akan penjual asongan yang
menjajahkan makanan ringan. Saat stasiun berhenti mereka akan naik keatas
gerbong menawarkan kepada kami para penumpang. Tak ada lagi, suara
lemper…lemper saat stasiun itu berhenti di Prambulih, peyek…peyek saat stasiun itu berhenti di Baturaja, dan
serta stasiun-stasiun lain. Yang tertinggal hanyalah keheningan. Aku bertanya
dalam hati, bukankah hal yang unik dari naik kereta kelas ekonomi karena adanya
mereka. Mereka para pedagang asongan yang tak di temui di travel, bis, dan
kereta kelas eksutive. Para pedagang asongan yang mengenalkan sebuah cirri khas
dari makan special setiap berhentinya stasiun.
Nampak
di balik pagar saat kereta berhenti di stasiun Prabumulih, mereka
menjerit-menjerit menawarkan jajanan yang telah di bekal dengan kantong. Hanya
satu dua yang turun untuk membeli selebihnya berdiam diri karena malas mau
beranjak dari tempat duduk. Mereka para penjual yang gigih tak berhenti
mengkais rejeki meski pintu telah digembok dan ada larangan tertulis. Mereka menjulurkan tangan dibalik pagar
dengan kepala yang sebagian tertutup besi pagar.
Semoga
suatu hari di setiap pemberhentian stasiun, aku bisa menemui mereka kembali Mereka
yang menawarkan kepada kami para penumpang makanan ringan sebagai pengajal
perut. Makanan ringan yang menjadi ciri khas dari setiap stasiun. Perjalanan
kereta adalah sepotong rindu di kereta
kelas ekonomi. Rindu menatap mereka para pejuang kehidupan sebenarnya bisa
menjadi nilai dan cirri khas bila di kemas dengan apik. Semoga suatu hari nanti
mereka memiliki tempat di gerbong kereta kelas ekonomi ini. Kembali mengenalkan
kepada kami tentang makanan khas dari setiap pemberhentian stasiun. Makanan
khas yang kami rindu untuk menikmatinya.(ami..in)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan