Bila
ada kata pepatah mengatakan bahwa guru pahlawan tanpa tanda jasa,itu benar
adanya. Pekerjaan guru sangatlah mulia. Orang hebat, besar dan suskes itu
terbentuk dari perpanjangan tangan guru. Guru merupakan ujung tombak dari
sebuah genarasi. Laksana busur yang dilepaskan, tepat sasaran atau melenceng
itu semua tergantung dari pendidikan yang didapat selama bangku sekolah. Maka tak heran bila wajah pendidikan cerminan
dari sebuah generasi bangsa.
Lihatlah
negera yang maju, bagaimana wajah pendidikan mereka bandingkan dengan negara
yang terbelakang. Ada perbedaan bagai bumi dan langit. Saat kalah perang perdana
menteri Jepang mengatakan berapa guru yang masih hidup? Bukan seberapa harta
yang tersisa? Berapa korban jiwa? Berapa pasukan militer ? Itu menandakan nilai
sebuah guru laksana mutiara yang berkilau. Maka tak heran Jepangpun bisa begitu
cepat bangkit dari berbagai lini. Mereka tidak memiliki sumber daya alam
melimpah, tapi mereka mempunyai pendidikan yang bisa menciptakan daya piker.
Apa yang tidak ada menjadi ada ? Apa yang tidak mungkin menjadi mungkin ? Maka
tak heran negara mereka berkembang dengan pesat.
Bercerminlah
dari pendidikan negara maju, Indonesia jauh ketinggalan kereta. Kenapa itu bisa
terjadi, apa kita kekurangan sumber daya manusia, guru-guru terbaik yang jenius.
Ternyata kita tak kekurangan guru-guru cerdas dan anak-anak yang cerdas. Lihatlah, anak-anak bangsa tak jarang menjuarai berbagai olimpiade sains, penemuan dalam bidang teknologi tak kalah.
Lalu, apa masalahnya? Kurangnya asperasi dan penghargaan terhadap pemuda
bermutu. Sehingga mereka tumbuh tanpa bisa berkembang dan berbuah. Mereka tak
diberi wadah dan dirawat dengan baik.
Selain
itu ada hal hal yang lebih mendasar merupakan pondasi dari banguan tersebut. Pendidikan
moral yang terlupa. Lihatlah wajah pendidikan kita bagaiman nilai diatas kertas
menjadi sebuah kebanggaan. Nilai-nilai dan etika terlupakan, tentang sebuah
proses pencapainan yang tidak penting. Kita selalu lebih condong hasil daripada
proses. Nilai sembilan diatas kertas disambut dengan kebanggaan meski hasil
mencontek. Sedangkan nilai lima menjadi tidak berharga meski hasil kerja keras.
Betapa angka menjadi dominan, malah
seakan menjadi ajang perlombaan untuk membentuk eksistensi diri.
Tak
heran terbentuklah sebuah karakter mencontek dan kecurangan menjadi sebuah
budaya. Bandingkan dengan Jepang, proses itu menjadi harga mati. Hukuman bagi
siswa yang ketahuan berbuat curang dikeluarkan dari ujian dan terancam tidak
lulus. Tidak dibiarkan bibit-bibit kecurangan berkembang
Tiada ulasan:
Catat Ulasan