Masih
segar dalam ingatan, lebih kurang empat tahun silam kita bertemu disini, di
sebuah tempat yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh kita. Tapi takdir tuhan
itulah yang membawa langkah kita kesini, untuk sebuah kata mengabdi pada negeri.
Dirantauan,
di tempat yang asing, sudah menjadi kodratnya akan berteman dengan orang yang
memiliki kesamaan. Iya, salah satunya, sama daerah asal. Kita sama-sama berasal
dari SUMSEL. Meski kenyataannya, kita baru bertemu disini.
Masih
teringang percakapan,pada saat kita mengurus
berkas-berkas, sambil berjalan kaki di panas terik matahari. Waktu itu, kita sama-sama
belum bisa mengendarai motor sendiri (sekarang sudah bisa). Terpaksa berjalan
kaki. Sepanjang perjalanan, kau terus berkicau untuk mengalihkan perhatian agar
perjalanan ini tidak terlalu memiluhkan oleh peluh yang bercucuran.
“Kakak,
aku memiliki mimpi ingin menjadi menteri kesehatan!”
“Apa,
kamu mau menjadi menteri kesehatan?” ( meski dia memanggilku kakak, sebenarnya
usiaku lebih muda berapa bulan, tapi karena aku duluan lulus kuliahnya, jadi
begitulah aturan mainnya di asrama.)
“Aku
ingin menjadi pemimpin yang jujur kakak. Akan kubangun sistem kesehatan. Kuberantas
yang namanya korupsi.”
“Aku
mendukungmu Mer, tapi kalau aku hanya ingin menjadi staf biasa , sambil merajut
mimpi-mimpiku. Aku tak ingin menjadi seorang pejabat.”
“Kenapa
begitu kakak?”
“Kalau
semua mau jadi pejabat, siapa yang akan menjadi bawahannya. Biar aku saja yang
bekerja dibawah,” kita tertawa bersama, tanpa terasa telah sampai.
Perjalanan itu belum tuntas, kita harus kekantor RW setempat untuk meminta
surat domisili.
Sejak
saat itu, aku mulai mengenal dirimu sebagai orang yang memiliki prinsip hidup.
****
Dua
bulan yang lalu, tak ada angin dan hujan. “Saat kau berkata, kakak aku akan
menikah?”
“Apa?” sejenak aku terkaget, bukan apa-apa. Tak ada tanda-tanda mengarah sebelumnya. Wajar bila aku kaget.
“Apa?” sejenak aku terkaget, bukan apa-apa. Tak ada tanda-tanda mengarah sebelumnya. Wajar bila aku kaget.
“Serius,
Mer?” dia terkadang suka bercanda.
“Serius
kakak,” ada cicin yang melingkar di jemarinya. Ternyata pada waktu pulang
kemarin, dia lamaran.
Aku
sangat riang mendengar kabar itu. Mengucapkan selamat bahwa sebentar lagi dia
akan berubah status.
Aku
mulai kepo dengan siapa calonnya, diapun mengatakan bahwa itu adalah teman
SMAnya dulu. Dia bercerita, semua serba tiba-tiba dan berjalan begitu cepat.
****
Hari
adalah hari bersejarah, bersatunya dua hati atas ridho illahi. Ingin sekali aku
hadir disana menyaksikan kebahagianmu, menjadi bagian. Tapi, recana yang telah
disusun matang hancur berantakan. Recana aku dan teman-teman rumah sakit
akan kesana bersama-sama, sekaligus menginap. Tapi apa daya, tanggal pernikahan
bertepat dengan penilaian akredtasi rumah sakit, pegawai tidak boleh izin harus
masuk meski hari libur. Andai saja,
antara menggala dan ogan ilir, sedekat, menggala-karang, mungkin kami akan datang.
Meski
aku tak bisa hadir disana, teiring doa kebahagianmu, doa-doa terbaik dari
sahabatmu. Semoga pernikahannya langgeng. Bahagia selamanya (am..in), semoga
tak kecewa yang terlukis karena kami tak bisa hadir. Maafkan, aku sahabat. ^_^
Saat,
ini akupun mulai berpikir bahwa usiaku
tak muda lagi. Bila tahun-tahun sebelumnya dan tahun ini, aku tak pernah
memasukkan dalam daftar mimpiku menikah.
Tahun depan aku akan mempersiapkan semua, gerbang baru dari kehidupan. Sebuah
babak, semoga tuhan mempermudah.
Sekali ku ucapkan barakallah
sahabatku Meri Julianti dan Suami ^_^. Semoga tahun depan tuhan mempermudah
langkah ku untuk mengikuti jejakmu. ^_^ (am..in)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan