Setelah pertemuan tak sengaja sore itu dengan Meong. Setelah
lama tidak bertemu dan bersua. Lebih tepatnya aku mulai sibuk membangun
mimpi-mimpi kembali. Telah berjanji untuk menutup mata, telinga, atau mulut
terhadap segala sesuatu yang terjadi.
“Apa kabar meong?”
sapa kancil sambil menjabat tangannya. Ada kerinduan yang seketika menyeruak.
Rindu kehangatan yang sempat terjalin, ketulusan dan saling bahu-bahu. Tanpa
embel-embel yang lain.
Kami terlibat obrolan yang cukup panjang. Menanyakan segala
kegiatan setelah lama tidak berjumpa.
Meong juga sama dengan kancil sedang membangun mimpi-mimpinya. Seyum merengkah
tidak ada pembicaraan lain selain membahas recana-recana ke depan dan
impian-impian yang akan kami gapai.
Pertemuan sore itu, bisa dibilang sebuah reuni antara kancil
dan meong. Tak ada lagi bahasan tentang rumah yang terkunci atau rumah itu
telah berubah bentuk.
Tapi seberapa keras kita menghapus jejak-jejak, kita tidak akan
sepenuh bisa. Jejak-Jejak kaki itu tetap ada meski sekarang tinggal kenangan. Tumbuh dan berkembang selalu ada peran orang
lain. Meski terhapus hujan tapi tetap ada dalam ingatan.
Bagi kancil bersama di rumah itu atau tidak lagi. Tetap dia
pernah menjadi bagian. Entah diagap
menjadi bagian penting atau tidak. Dia pernah bersama membangun pondasi sampai
rumah itu berdiri kokoh.
Kancil sengaja membuat jejak-jejak tulisan ini. Sebagai alram
pengingat. Setidaknya untuk diri sendiri.
Hidup itu pilihan. Masing-masing bebas memilih jalannya.
Bukan. Walau pada akhirnya kancil
memilih meninggalkan. Tapi bagi kancil tak pernah ada ruang benci. Hidup itu
pilihan. Setiap orang berhak memilih jalannya. Bila sekarang jalan itu
berseberangan bukankah kemarin kita pernah beriringan. Walaupun berbeda, Cuma sekolah
tempat belajar yang telah berpindah. Sudah waktu bagi kancil untuk beranjak dan
melanjutkan perjalanan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan