Ada sebuah rumah yang
dibangun atas dasar ketulusan. Hati- hati penghuni di dalam terikat satu sama
lain. Saling bahu membahu, tak ada yang merasa lebih baik. Kehangatan tercipta
seperti matahari yang menyapa bumi. Berpadu dalam satu asa dan tujuan. Meski
percikan-percikan kecil tak jarang terjadi, menjadi warna dan penguat yang
malah semakin mengkokohkan pondasi rumah itu. Saat semen pondasi itu diaduk. Si
Kancil berkata kepada tiga orang temannya. Aku akan tetap berada di rumah ini
dan membesarkannya. Berdiri di belakang kalian, bila visi itu tetap ada. Tapi
bila visi itu telah berbelok maka aku orang pertama yang akan pergi. Kata-kata
kancil itu masih tersimpan dalam bentuk tulisan, di semen yang teraduk yang
menjadi bahan pondasi.
Rumah
yang dibangun telah berbentuk, tinggal mempoles dengan cat.
Kancil tak tahu tepatnya kapan. Iya kapan, saat dia menyadari. Pondasi itu tak
lagi berbahan dasar ketulusan. Tapi telah berisi beragam kepentingan dan
kepentingan dari berbagai sudut dan penghuni. Dia tak bisa membedakan mana
ketulusan mana kepentingan . Ruas kepala dipenuhi oleh beragam prasangka dan
prasangka. Benar kata keduaorangtua yang telah tenang di langit “Ada sesuatu
yang bisa mengoyahkan dan merobohkan
bangunan yaitu kepentingan.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan