Judul : Akik
Dan Penghimpun Senja
Penulis : Afifah Afra
Penerbit : Indiva
Jumlah halaman : 322
Akik
dan Penghimpun senja ini, memuat nilai
eksotis tentang gua, pertualangan, tentang batu akik yang bertuah, mistis serta ada sisipan nilai sejarah
Majapahit. Novel ini kaya dengan diksi yang indah, alur cerita yang tidak
menjemukan, meski tema cerita sederhana ramuannya membuat cerita hidup dan
istimewa. Setting yang dipaparkan detail sehingga bisa terbayang di pelupuk
mata. Bila, novel ini di filmkan mungkin visualisasi akan lebih seru dan
menegangkan. Endingnyapun aku sukai, cukup mengejutkan karena terbawa akan
cerita mengira makhluk halus, tapi
ternyata perbuatan Gunadi sang dukun. Tapi ada berapa tokoh yang sebenarnya hanya
sekedar penghias , peramai muncul
sesaat.
Fahira
akan melakukan sebuah penelitian, tapi dia bukanlah seorang pencinta alam. Dia
membutuhkan tim Mapala untuk memuluskan recananya. Anton sang ketua, terkenal
cuek, galak, kuliah hanya sekedar menjeng, kerjaan keluyuran ke alam bebas
ditambah dengan kejadian yang kurang
baik antara Fahira dan Anton. Membuat dia bersikeras tidak mau membantu Fahira.
Tanpa Anton tim mapala tidak bisa bergerak ,dialah yang mengetahui seluk beluk
gua dengan detail. Fahira sempat putus
asa, apalagi dengan kata-kata kasar Anton.
“Aku
ngak bakalan ikut, jika kucing kecil ini tetap ikutan ekspedisi. Tak peduli dia
bos atau babu !” sambil mengeram seperti ayam jago baru kalah bersabung, Anton
meraih tas ranselnya dari atas meja, mencangklongnya dan beranjak pergi. Namun
sebelum langkahnya meninggalkan ruang, Jaka buru-buru menarik tangannya.” (hal,
37)
Rinati
bersuamikan seorang Gunardi yang kerjaannya bersemedi di gua berbulan-bulan
meminta petuah dari batu akik. Sejenis pengasihan bagi yang mau mencalonkan
diri menjadi kepala daerah. Namun persemedian merasa terganggu karena alam
tidak sealami dulu telah terjama”ah oleh tangan manusia. Gundari menyadari bahwa
semakin hari kekuatnya semakin berkurang. Dia murka pada parawisata dan turis
asing. Sedangkan Rinati mengharapkan suami menjadi manusia normal pada umumnya,
hidup sederhana berjualan es kelapa, bukan menjadi seorang dukun.
“Ada
sesuatu yang sepertinya memudar dariku,” desah Gunadi. “Kesaktiannku, seperti
hilang hampir separuhnya. Aku tak pernah berhasil memasukan tuah ke
cincin-cincin akik dan pusaka-pusaka itu sebaik yang pernah kulakukan
sebelum-sebelumnya, Dan ini sangat meresahkanku.” (hal, 107)
Anton
akhirnya mau juga membantu Fahira. Pertualangpun dimulai menyusuri sebuah gua.
Fahira tampak begitu takjub, mereka berkeliling mengintarai lorong-lorong gua.
Jiwa Anton tertantang saat melihat celah sempit. Diapun memanjat, matanya
begitu kagum dengan pemadangan yang ada diatasnya. Fahira yang mendengar
gumanan Anton memutuskan untuk ikut terjun kedalam. Mereka terjebak di sana,
karena penunjuk di dinding ada yang
mencopoti. Mereka hanya muter-muter tanpa tahu jalan keluar.
“Kami
melangkah, terus melangkah, dan memasuki labirin yang memusingkan. Namun lorong
air itu tak juga kami temukan. Sekitar satu jam, akhirnya kami memasuki sebuha
chamber keci. Cahaya headlamp menyorot ke sebuah batu besar. Dan aku
tercenagng, melihat selembar kertas yang ditindih dengan batu keci. (Hal, 224)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan