Judul :
Terusir
Penulis : Hamka
Penerbit : Gema Insani
Jumlah halaman :132
Antara
nyata dan khayalan dalam sebuah novel
hampir tidak ada sekatan, bagaimana lahirnya sebuah tulisan tersebut dari
pengamatan atau realita yang ada di lapangan lalu diolah otak bersama imajenasi
yang tertuang. Angkatan pujangga lama
dan baru serta balai pustaka, karya seperti novel yang mengangkat tema tetang
kentalnya sebuah adat istiadat yang mengekang, kasta antara laki-laki dan
perempuan, tentang peperangan, norma sosial serta prilaku masyarakat pada saat
itu menjadi sorotan tajaman. Bagitulah sekira novel terusir ini tertuang, lewat
jemari Hamka. Penulis legendaries Indonesia salah satu karya sangat fenomena adalah tenggelamnya kapal van der wijck.
Novel
ini berkisah tentang Mariah yang haus terusir dari kampung halamannya dan
dicerai oleh sang suami karena hasutan dari pihak keluarga. Pihak keluarga yang tak suka dengan Mariah
karena dia berasal dari keluarga biasa sedangkanAzhar dari keluarga terpandang.
Keluarga Azhar menyusun berbagai recana dan mengatur berbagi strategis,
sehingga terjadi petaka tersebut. Mariah yang hidup sebatang kara, bingung
harus menginjak kaki kemana. Kepedihannya bertambah saat teringat anal
yang ditinggalkan.
“Yang
lebih lagi mengharu-birukan pikirannya ialah percerainan dengan anaknya. Wajah
anaknya yang mungil senatiasa terbayang di ruang matanya.Kerap kali ia
terbangun dari tidur tengah malam, serasa-rasa kedengaran anaknya memanggil
ibu.” (Hal, 23)
` Mariah menyeret langkah ke ibu kota
semula menumpang ketempat teman ayahnya sambil berusaha menghubungi suami dan
menjelaskan duduk persoalan. Berbulan-bulan dia mengirim surat. Tapi tidak ada
hasil. Mariah akhirnya bekerja menjadi pembantu rumah tangga setelah tidak ada
lagi yang dia bisa lakukan. Azhar
menyadari kekeliruan selama ini dam sadar telah melakukan kesalahn. Diapun
mencari Mariah yang telah di bawah majikan kepulau seberang.
“Sehari
selepas surat itu diterimanya, dimulainyalah mencari dimana gerangan bekas
istrinya itu. Disusun dan diupahkan
orang-orang yag tahu seluk-beluk kota Medan, ditanyakan ke Siantar, Tanjung
Balai, Kisaran dan Bardan, satupun tak
ada laporan yang menyenangkan hati.” (Hal, 35)
Novel
ini memang tipis dan sederhana. Tapi
banyak menyimpan pesan moral yang tak
lekang oleh waktu. Mungkin kisah ini ditulis puluhan tahun silam tapi tetap
bisa dinikmati sampai sekarang. Itu menandakan bahwa novel itu tak lekang oleh
waktu dan perubahan Dalam setiap lini masa dia selalu hadir menemani para
pembaca.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan