Judul buku :
Garnish
Penulis :
Mashdar Zainal
Penerbit :
De teens
Jumlah Halaman : 220
Saat jalan-jalan
ke toko buku, setelah lirik sana-sini mencari buku yang menarik. Mata tertuju
pada buku ini. Dari sisi judul novel ini sangat memikat dan menimbulkan
pertanyaan dibenak, apalagi sepotong sinopsis di belakang cover menandakan buku
ini memiliki cerita yang unik.
Dua anak manusia,
Anin dan Buni memiliki permasalahan yang sama. Keduaorangtua yang mengengkang
dan mengikat masa depan mereka. Sisi kehidupan mereka diatur dengan sedemikian
rupa. Membuat rasa pemberontakan itu muncul. Mama Buni yang tidak pernah
menyetujui Buni untuk menekuni keahlian memasak beralasan itu profesi seorang
perempuan. Sedangkan Anin, ayahnya
melarang dia melukis karena diagap pekerjaan pengangguran. Saat kehendak
mereka dilarang, saat suara hati dan keinginan tidak didengar. Mereka akhirnya
memutuskan untuk kabur dari rumah. Takdir mempertemukan mereka berdua, disebuah
taman kota, saat mereka meninggalkan rumah dengan kemarahan. Terjalin
persahabatan dan merekapun secara bersama merajut mimpi.
“Untuk meraih
sesuatu yang kau inginkan terkadang kau harus berdarah-darah. Mimpi dan
cita-cita adalah seseuatu yang tersimpan di ketinggian. Untuk mendapatkannya
kau harus melakukan pendakian. Kau akan melewati jalan-jalan yang berbatu,
jurang-jurang yang curam, ceruk ngarai yang dalam, sebelum sampai di puncak
tertinggi dan mendekap mimpi-mimpimu. (Hal, 198)
Meski tema cerita
sederhana tapi penulis mampu mengemasnya, sehingga saya sebagai pembaca tidak
bosan dan ingin terus membaca sampai ending.
Tidak seperti cerita pada umumnya kayak dalam sinetron, disini lebih
banyak pesan moral dan nilai yang disampaikan penulis. Konflik ceritanya dibuat
serealitis seperti dalam kehidupan sebenarnya, tidak dibuat-buat atau lebay.
Alur ceritanyapun bisa diikuti dengan baik.
“Aku merasa bahwa
kebahagiaan yang sempurna tidak terletak pada mimpi-mimpi yang berhasil kau
raih, tapi pada proses bagaimana kau meraihnya. Seperti seorang pendaki yang
ingin mencapai puncak gunung, perjalanan yang ia lampaui tentu jauh lebih
berarti dan memberinya pelajaran ketimbang ketika ia telah berdiri di puncak
tertinggi.” (Hal. 218)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan