Berapa hari terakhir lagi hangat isu
tentang aksi demo blue bird dan taxi online. Bentrok yang tak bisa terelakan.
Aksi para sopir blue bird yang tampak begitu anarkis tersebar. Tak hendak
membela siapa-siapa. Luapan kemarahan pastilah memiliki sebab. Peran pemerintah
harus bermain dan memberikan solusi yang bijak. Solusi yang tidak merugi pihak
manapun. Saya tak akan pajang lembar membahas isu tersebut.
Kemajuan tekhnologi dan informatika
di zaman ini, tidak terbendung lagi.
Bila tidak mengikuti sebuah perubahan
maka akan terlindas oleh waktu. Internet sudah menjadi sebuah kebutuhan pokok
bagi setiap manusia. Sama seperti makan nasi, yang tak bisa lepas dari
masyarkat Indonesia. Internet telah menjangkau
berbagai kalangan bukan hanya masuk pada tataran anak sekolahan. Dari pedagang
kaki lima sampai pedagang kelas kakap. Dari sopir angkot sampai sopir pesawat.
Dari anak kecil sampai orangtua. Bila kita ukur hampir sebagian besar
masyarakat Indonesia mengakses internet setiap harinya, bahkan ada yang setiap
saat.
Ini sebuah fenomena yang tak bisa
dipungkiri, seperti kata pepatah dimana
ada semut disitu pasti ada gula. Dimana ada keramainan disitu ada sumber harta
karun. Berbondong-bondong orang yang menggunakan internet, membuat pundi-pundi
uang itu tercipta. Analoginya misal ada konser musik, pameran, dan acara-acara
lain. Tak hanya manusia yang ramai disana, tapi ada bisnis yang berjalan. Para
pedagang asongan yang menjual minuman, makanan ringan, cemilan dan lain
sebagainya. Begitulah sekira internet ini sekarang.
Maka tak heran, sumber keramainan
itu menarik orang-orang yang berpikir kreatif. Bagaimana memanfaatkan peluang di
tengah keramainan. Dulukalau mau berjualan harus memiliki modal yang besar,
beli barang dulu baru dijual. Sekarang lewat internet apapun bisa dijual, dan
siapapun bisa menjadi pedagang. Tentu tak membutuhkan modal, cukup punya akses
internet. Lalu mendaftar menjadi reseller, panjang produk tersebut di akun media
sosial. Tinggal menunggu, bila ada yang tertarik bisa komentar.
Begitupun dalam dunia penerbitan dan
perbukuan. Saya membaca sebuah diskusi
di grup dan status di media social
yang membicarakan bahwa penerbit besar sedang mengalami kelesuan. Dari berbagai lini memang sedang melewati
masa transisi. Bisa jadi di masa mendatang buku akan jarang ditemui beredar di pasaran.
Berganti dengan E-Book. Bukan karena buku tidak bermanfaat lagi tapi
tergantikan oleh sebuah kepraktisan. Berapa tahun silam waktu kemunculan
internet dengan berbagai situs website. Tulisan-tulisan yang disana diagap “terbuang”,
ketidakkerenan bila dibandingkan dengan yang dimuat di koran. Tentu alasan ini
sangat berdasar, untuk menembus koran membutuhkan
perjuangan berdarah-darah. Ratusan tulisan yang dikirim hanya berapa biji saja
yang dimuat. Tidak main-main bukan. Bila dibandingkan dengan tulisan website
yang terkadang tanpa penyaringan dan siapapun bisa memposting tulisan. Tapi
seiring berjalan waktu, semakin ramai penduduk media social, menjadi sebuah
kenyataan yang tak bisa diterelakkan. Situs-situs website seperti portal berita
media cetak dan majalah mulai bermetamorfosis berubah wujud website khusus dunia online.
Website pendatang barupun bermunculan
dan beragam. Penduduk media sosialpun disungguhkan kemudahan untuk mengakses
informasi, dari berita terupadate sampai isu terhangat. Bila berita di koran harus
menunggu pagi baru sampai di rumah sedangkan internet dalam hitungan menit
berita sudah menyebar kesuluruh penjuru sampai bagi terpencil di bumi nusantara.
Begitupun dengan tulisan yang ada di majalah, harus menunggu pergantian minggu,
baru bisa membacanya. Kemunculan berbagai website yang memiliki kemiripan dengan
majalah akhirnya mengganti posisi majalah tersebut. Majalah yang sering mengisi
pada zaman sekolah dan kuliah, lenyap bagaikan ditelan bumi.
Lalu bagaimanan dengan buku ? Itulah
yang menjadi pertanyaan dibenak saya. Apakah mungkin posisi nanti akan tergeser
oleh E-Book. Segala sesuatu bisa saja terjadi. Tapi, kalau menurut kacamata saya
sebagai penikmat buku. Posisi buku tak semudah itu, akan terlindas oleh
kemajuan zaman. Ada berapa alasan yang mendasari. Buku tidaklah sama dengan koran
dan majalah bersifat informasi dan ilmu pengetahuan ringan, hanya sekali santap
saja. Buku ditulis dalam kurun waktu yang pajang sebelum ditayangkan, melewati
sebuah proses riset dan perpaduan dari kinerja otak seseorang. Maka tak heran,
buku memiliki ratusan lembar halaman. Sedangkan Koran sifatnya hanya sebentuk
informasi, bila selesai dibaca maka akan membentuk sebuah tumpukan yang
menggunung, tak jarang ada yang menjual kiloan, (maaf bukan bermaksud untuk
menyepelekan). Majalahpun sama hanya menjadi bacaan dikala segang. Berbeda dengan
buku, ada bentuk, isi dan subtansi. Maka
dari itu saya kira posisi buku dan penerbitan akan tetap hidup meski, seiring berjalan waktu sinarnya meredup. Tapi tetap memiliki tepatnya
tersendiri.
Tapi kemajuan tekhnologipun tak bisa
dipadang sebelah mata, bila kita tidak mengikuti sebuah arus perubahan maka
akan terlindas oleh waktu. Meski wujud koran, majalah atapun mungkin saja buku
hilang dari peradaban di muka bumi. Tapi satu hal yang tak akan pernah hilang
dan tidak termakan waktu. Pembaca dan penulis
adalah sebuah keterkaitan. Media saja yang berubah bentuk menjadi online bukan
cetak lagi. Tapi isi didalamnya tetap sama dengan visi dan tujuan sebagai
jendela dunia.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan