Jalanan adalah rumah bagi kami, disinilah tempat kami
menapaki perjalanan hidup. Tidur beratapkan langit dan beralasan bumi. Tempat kosong dan lapak yang tak berpenghuni
itulah rumah tempat melepaskan lelah. Di emperan toko, di halte busway, di
bawah jembatan dan pinggiran taman. Kami layaknya sampah yang terbuang, terbuang
oleh pemilik peradaban. Selayaknya sampah kami selalu di agap merusak
pemadangan, seperti sampah kami harus di musnahkan, seperti sampah kami tak
pernah di pelihara dan diperlakukan layaknya manusia. Layaknya sampah kami bisa menyumbat
perjalanan air, kami yang tak terpelihara menjadi liar dan beriangas. Kalian
tahu hidup di jalanan sama seperti hutan rimba, siapa yang kuat dia yang
menang. Berlaku juga untuk bangsa ini siapa yang punya uang dan kekuasaan dia
dapat menekan orang kecil seperti kami. “Tuhan tidak adil” Rajaf berteriak
keras menatap langit yang gelap, segelap hatinya yang kacau. Amarah yang tak
bisa tertahan bersama perut yang kian merajam karena tak terisi makanan.
Bersama
kejadian sore tadi yang terus berkelebatan,
membuat degupan jantungnya berdetak kencang. Di balik dinding toko, dia melihat
tanpa bisa berbuat apa-apa. Adiknya ditarik-tarik tanpa ampun bersama jeritan
tangis yang tak berujung, meraung-raung minta ampun. Meronta-ronta berusaha
melepaskan diri dari cengekeraman tangan raksasa menerkam tubuhnya. Pagi yang
cerah seperti biasa, dia dengan adiknya terbangun sebelum fajar menyising. Melangkahkan
kaki sebelum toko di buka dan mereka terusir. Hidup ini memang kejam, lebih
kejam dari harimau yang kelaparan. Seminggu yang lalu ayah harus meregang nyawa
karena di keroyok masa dan dibakar hidup-hidup setelah menjambret tas seorang wanita. Nyawa
bagi orang kecil seperti kami sama seperti membunuh semut yang mengigit
kulit. Tidak ada harga, sama sekali. Lihatlah para pencuri berdasi bebas
berkeliaran memakan kami, bukankahh mereka yang membuat kami begini. Seharusnya
nyawa mereka yang lenyap dari muka bumi.
Ayah
tak bersalah, dia hanya gelap mata, setelah berapa hari perut melilit tidak ada yang bisa dimakan,
sedangkan adikku terbaring lemah suhu
tubuhnya tinggi, obat warung tak lagi mempan. Di sepetak rumah yang terbuat
dari kardus kami tinggal, tak ada makanan yang tersisa. Uang hasil aku mengamen
harus di bagi dengan preman dan hanya tersisa
berapa rupiah untuk membeli obat dan
sebuah roti penganjal perut adikku. Tenaga Ayah sebulan terakhir, tak lagi di
gunakan karena cece sang toko memecatnya tanpa sebab. Ayah yang tak memiliki
keahlian lain kecuali mengangkat barang harus pusing tujuh keliling. Berkeliling
menawarkan diri, tapi tak ada yang berminat memakai tenaganya.
Gigit jari, saat langkah kaki tak menghasilkan
apa-apa. Rintihan perih kesakitan tak
luput dari padangan, keringat dingin bencucuran, kaki terasa lelah membuat laki-laki
itu beristirahat. Dia duduk di pinggir jalan raya, bersandar pada dinding.
Senja telah berganti malam, hari ini tak ada uang yang bisa dibawah pulang, anak
yang tersayang mengaga minta makan, merintih minta di suntik. Teriakan pemilik
tanah yang menjerit setiap saat, karena dua bulan belum bayar pajak tanah
sebesar 75 ribu perbulan. Tempat tinggal yang dia huni hanyalah sepetak cuma cukup untuk meringkukkan tubuh. Bila minggu
ini dia tidak membayar siap-siap kena
tendang dari rumah kardus tersebut.
Orang
hilir mudik, lewat dihadapannya. Pikiran jahatpun hadir, bila dia mengambil tas
pasti didalamnya berisi Hp dan berapa uang. Cukup untuk membayar kontrakan dan minta obat suntik untuk anaknya. Berapa orang yang lewat selalu
dia urungkan niat karena kegundahan yang melanda antara kepedihan hidup dan
ketakutan yang menghatui. “Ahh, tuhan
izin sekali ini saja aku mencuri,” desis pria itu dalam hati. Seorang wanita
rambut tergerai memakai kacamata, tas dijijing di tangan tampak dari kejauhan
berjalan ke arahnya. Dia menoleh ke kiri dan kanan tampak legang. Target tepat berada dihadapan, siap-siap
mengambil posisi dengan duduk
berjongkok, target lewat dihadapanya. Tangannya dengan keras menarik tas dan
langsung berlari. Target menjerit histeris, malang baginya saat itu ada
segerombolan pemuda yang pulang dari bermain fustal, langsung mengejarnya
mati-matian. Tenaganya terkuras habis. Dia terjatuh, kaki tak kuat lagi untuk melangkah.
Tubuh kaku di seret-seret, layak binatang buruan. Lebih dari itu sebenarnya, pukulan bertubi-tubi dilayangkan
ke tubuh rikihnya. Darah yang mengalir terasa asin, bersama peluh yang
bersimba. Tak terasa lagi apa itu nyeri, tak terasa lagi itu sakit, dia hanya
melihat anaknya meratap di rumah menahan lapar dan sakit. “Bakar..bakar!!” teriak
samar-samar di telinganya “bakar..hidup-hidup biar jera!!” tak ada kata ampun
aroma bensin menyengat mengalir pori-pori sehingga bara itu membesar melalap habis
tubuhnya. Samar-samar wajah kedua anaknya tenggelam bersama kobaran api
yang besar.
Aku
berlari kencang menebus malam, saat aku dengar bahwa ayah telah dibakar massa. Kaki tertahan menatap seogok jazad yang di
masukkan kedalam ambulan. Malam itu aku menyisir malam menunju rumah sakit
meski wajah ayah tak bisa kutatap. Dengan menelan ludah dan tubuh lelah ,
berlari menembus malam. Aku harus mengajak adikku pergi, esok pasti akan ada
segerombolan orang yang mencari informasi.
Pelan-pelan
aku angkat tubuh adikku bersama erangan yang keluar dari mulutnya bersama sisa
tenaga yang masih tersisa, dan aku letak tubuhnya ke punggung. Tak ada yang
bisa di bawah cuma pakainan pembungkus badan dan alat kericingan untuk
mengamen, itulah harta. Harta yang masih tersisa di rumah kardus ini. Dengan
tertatih aku berjalan menyusuri pekatnya langit, aku ingin pergi sejauh mungkin
dari tempat ini.
Entah
telah sejauh mana perjalanan ini, pasti mentari sudah menampakkan wajahnya.
Lalung lalang kendaraan sudah memadati jalan. Di bawah pohon aku rebahkan
adikku, setidaknya beristrahat sejenak dari rasa penat selama perjalanan. Lelah
memang lelah seperti lelah hati yang merana menangung penderitaan yang tiada
bertepi. Ayah sudah berada dilangit sana sekarang, aku elus wajah yang masih
terpejam. Setidak tuhan maha pengasih karena panas tubuh Rama sudah menurun,
keringat telah mengalir dari pori
porinya. Pelan-pelan dia membuka mata.
“Kita
dimana kak?” Wajah lugu itu bertanya padaku.
“Kita
lagi di jalan, beristirahat sebentar.” Aku menyodorkan minuman, minuman yang aku
punggut dijalan bersama roti yang sudah berlemut setidaknya ada makanan
mengajal perut. Rama meraih minuman yang aku sodorkan, dia meminum tanpa
tersisa sedikitpun.
“Kakak
lapar?”
“Kamu
makan ini, nanti kita beli nasi kalau
punya uang.” Dia mengaguk tanpa banyak bicara langsung melahap roti itu.
Di
sela-sela mengunyah dia menanyakan dimana ayah. Keluh lidahku terasa bagaimana
harus aku jelaskan padanya. Kematian ayah yang sangat targis hampir tak
menyisahkan pesan. Diam terdiam dalam deru suara kendaraan.
***
Sejak
peristiwa itu, jalanan adalah rumah bagi kami. Kami hidup di jalanan, makan,
tidur dan melepaskan kepenatan. Jalan adalah hutan rimba siapa yang kuat dia
yang berkuasa, bagiku bisa makan dan mengajal perut itu sudah cukup.
Hari
ini aku mengajak adikku mengamen mencari recehan-recehan dari para penumpang
bis. Aku ajak dia untuk membuntutiku. Aku tak berani meninggalkan dia sendiri,
ini kota besar. Seperti kata ayah “Sekejam-kejam
ibu tiri masih kejam ibu kota”. Ibu kota sifat individu lebih tinggi daripada rasa sosial.
Tingkat kepedulian terbang bersama asap kendaraan yang menjadi polusi tertinggi
di kota. Harta yang paling berharga yang
tersisa adalah adikku. Aku tak ingin
kehilangannya dan akan menjaganya dengan sebaik mungkin.
Rama
mengikuti dari belakang menyusuri, dengan baju yang seminggu tidak mandi. Wajah
kumel karena tidak tersentuh dengan air. Bersama teriknya matahari kami menjual
suara, suara yang nyaring lebih kepada seperti orang menjerit. Penghasilan yang
didapat tidak seberapa cuma ada berapa butir uang 500 rupiah tapi kami bersyukur.
Adikku mengikuti dari belakang memegang bajuku, saat berjalan dari satu kursi ke
kursi.
Jumlah
pengamen sudah tak terhitung lagi, semakin hari semakin ramai anak
jalanan. Di jalanan kami mengkais rejeki
sama seperti ayam liar yang mengkais-kais tanah mencair santapan lezat yaitu
cacing. Aku menghitung hasil mengamen hari ini, tidak banyak memang tapi cukup
untuk mengajal perut yang lapar. Aku ajak Rama yang tampak letih untuk beristrahat sejenak,
melepaskan lelah yang telah mendera. Aku sapuh keringat yang membanjiri muka.
Rebahan sejenak di pingiran taman dan menarik napas pajang untuk memberi ruang
ketenangan. Aku pejamkan mata sejenak, Rama rebahan di pangkuanku, aku elus
rambutnya secara pelan-pelan. Seketika pundakku ada yang mencengkeram dengan
keras, tubuh terangkat berapa senti.
“Ini
dia orang yang telah menyerobot wilayah anak buah saya? E…ei kamu bocah
serahkan hasil mengamen padaku atau tubuhmu akan saya banting?” Mata melotot
dengan gigi yang berderit. Jeritan histeris tampak jelas di wajah lugu adikku.
Entahlah aku seakan menantang mata laki-laki itu dengan penuh pias kebencian.
“Ini hasil kerja kerasku, kalian seenaknya
merampas, itu tidak boleh terjadi,” jeritku dengan berang. Laki-laki itu tak
tinggal diam dia semakin beringas melihatku, tangan kirinya mencengkram leher
adikku. Rama semakin menjerit ketakutan.
Sayatan kepedihan yang mendayu penuh kepiluan. Luluh hatiku tanpa daya, aku
sodorkan uang hasil kerjaku hari ini, hasil keringat yang menguras energi. Tawa
menggelegar sampai kelangit. Aku peluk
erat tubuh adikku yang masih seguguk beruraian airmata, mencoba menenangkan.
Kami
harus melewati malam dengan perut lapar.
Berkali-kali aku suruh Rama memejamkan mata, agar dia beristrahat besok akan ada
perjalanan yang melelahkan lagi yang akan kami lakoni. Dia hanya membolak balik tubuhnya kekiri dan kekanan
dengan mata yang terpejam namun berapa saat dia membuka mata.
“Kak,
aku lapar… jadi tidak bisa tidur,” keluhnya sambil memegang perut.
Lagi-lagi
aku mendesah napas pajang menatap langit, langit yang cerah bertabur bintang.
“Ayo
kita jalan mencari makanan?”
“Rama
tidak kuat lagi kakak untuk berjalan?”
“Ya
sudah, kakak gendongnya”
Setapak
demi setapak menyusuri jalan pajang, mengkais di tong sampah dengan tangan
mungkin ada makan yang tersisa. Bau yang menyengat seakan berpadu dengan bau
tubuh kami. Ulat yang mengeliat di balik kantong yang aku buka mengurungkan
niat untuk menngkais lebih dalam, mencari tong sampah yang lain mungkin
mendapatkan makanan yang lebih layak untuk mengajal perut, hingga pada kotak sampah
yang ketujuh. Ada bungkusan nasi yang
dibuang. Aku amati sepertinya masih baru
dan tersisa lauk. Aku raih bungkusan nasi itu, dan aku rebahkan Rama yang telah
terlelap. Pelan aku membangunkannya dan menyuruh makan.
“Kakak
tidak makan,” tanya padaku. Aku hanya menggeleng dan berujar bahwa sudah kenyang.
Tak lama dari situ Rama tertidur kembali mungkin karena dia kecapekan seharian ikut aku mengamen. Aku meraih sisa
nasi dan melahapnya dengan sekali suap, setidak cukup untuk mengajal mulut
cacing yang dari tadi berdecit-decit.
***
Pagi
itu aku mengamen pada rute yang berbeda dari sebelumnya, trauma dengan preman
kemarin. Rejeki hari ini lumayan, siang hari dapat uang sekitar 20 ribu. Aku memutuskan untuk beristrahat dan membeli
dua bungkus nasi.
“Kakak,
Rama tunggu disini saja, aku capek berjalan.” Rengeknya lemas.
“Iya,
kamu tunggu disini, kakak akan membeli
nasi bungkus di warung ujung sana.”
Aku
berlari kencang menembus jalan, jam makan siang antrianpun pajang. Aku harus
bersabar menunggu untuk dilayani akhirnya dua bungkus nasi telur berada di
tangan. Aku bersiul dengan riang hari ini makan enak , malam nanti bisa tidur
nyenyak karena perut kenyang. Pancaran kesenangan itu hanya sebentar singgah, saat
aku menatap mobil patroli mendarat.
Orang-orang berseragam menyeret-nyeret para anak jalanan dengan paksa dan tanpa
ampunan. Nasi yang ada dibungkus terjatuh kelantai, saat mataku melihat adikku
di seret tanpa ampun.
Bila
dijalanan kami harus terusir lalu dimana kami harus tinggal, kami adalah sampah
malah lebih dari sampah yang harus ditertibkan atas nama keindahan. Wahai para
pejabat negeri ini, kalianlah yang merampas keindahan itu. Lihatlah dengan
membuang Kami ketempat yang jauh lebih buruk dari jalanan itu sendiri, kalian
mengatakan bahwa ini program untuk pemberantasan dari kebodohan, tapi kami
adalah orang yang bodoh yang tercipta dari kalian. Pembinaan anak - anak jalanan tanpa sebuah
landasan yang benar, bagi kami hanyalah sebuah permainan buruk. Hak kebebasan
sebagai makhluk hidup hanya angan-angan semu.
***
By
Rosella Mecca
BIODATA
Nama
pena saya adalah Rosella Mecca, memiliki hoby membaca dan menulis adalah cara
saya berekspresi. Akun Facebook ; Rosella Mecca. FansFage ; Rosella Mecca.
Perawat adala profesi yang saya pilih.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan