RANIA DAN HUJAN By Rosella Mecca
Waktu telah bergulir begitu cepat, dia
selalu duduk di bawah pohon itu saat hujan, dan membiarkan rintik-rintiknya
membasahi tubuhnya. Dia tak akan pernah beranjak dari sana sebelum hujan itu
berhenti. Meskipun hujan badai sekaligus diwarnai dengan petir. Orang-orang tak lagi mempedulikan apa yang
dia kerjakan, karena sudah bosan menegur dan mengingatkannya. Tubuhnya, mungkin
telah bersahabat dengan hujan karena dia tidak pernah sakit, diserang flu
ataupun meriang. Namanya Rania, perempuan bermata sendu yang tidak banyak
bicara.
Sudah menjadi lakon yang dia
mainkan, setiap hujan turun maka akan bergegas keluar rumah dan membasahi
tubuhnya dengan hujan. Aneh memang, prilaku keluar dari kebiasaan orang banyak.
Orang-orang akan berlarian mencari tempat berteduh atau sengaja bersembunyi
didalam rumah hanya menikmati hujan dibalik kaca jendela, terkadang juga
berselimut tebal memejamkan mata untuk istirahat. Tak setiap orang mengagap
hujan itu istimewa.
Sore itu, langit tampak gelap dan
awan berarak-arakan. Kabut pekat merubah warna langit. Tanda-tanda hujan akan
turun. Rania, wanita itu sudah duduk di depan rumahnya. Dia menatap langit
penuh makna. Lalu dia bergegas pergi, duduk dibawah pohon depan rumahnya. Tak
lama, hujan turun. Tubuhnya menyatu bersama rintik hujan.
Orang-orang hanya akan berbisik membicarakan
tingkahnya, ada yang bilang bahwa itu merupakan ritual, ada juga yang bilang
bahwa wanita itu tetesan dewa hujan, ada juga yang bilang bahwa wanita lagi
mencari ilmu kebal, dan bermacam-macam prasangka lainnya. Menjadi cerita akan
sikap dia yang keluar dari kebiasaan.
“Bersama hujan maka kesedihan itu
akan hilang, seperti hujan yang menyapuh debu-debu, membasahi bumi dan menghapus
kegersangan. Daun-daun menghijau dan bungapun bermekaran. Sambutlah hujan maka setiap kali rasa sedih
itu datang. Maka semua kepahitan dan kepedihan yang kau alami akan terhapuskan.”
kata-kata itu selalu teriang di telinganya. Ucapan wanita yang telah melahirkannya
ke dunia ini, saat sedang menghibur
dirinya yang sedang bersedih. Ibu akan mengajak menatap hujan dan membiarkan sekali-kali bermain hujan, da air
dari langit itu membasuh tubuhnya. Ibunya tak pernah marah, bila ia berlarian mengintari rumah menyambut
hujan. Tapi lakon itu tinggal kenangan. Toh ibunya sekarang telah menyatu
dengan tanah, menghadap sang pencipta. Begitu juga sang ayah. Sekarang hanya
dirinya menjalani hidup sebatang kara.
Hanya hujanlah satu-satu alasannya dia
terus melanjutkan hidup, setelah berapa kali bisikan hatinya, kemarahanya jiwa
pada dunia yang menggerakan dirinya untuk mengakhiri hidup. Tapi setiap hujan
turun menyapa bumi, setiap itulah dia akan menemukan kebahagian, dia seolah
berdialog dengan kedua orangtuanya. Pesan-pesan yang dia sampaikan bahwa dia
harus tegar dan kuat. “Hujan itu datang membawa pekat, awan hitam, kegelapan,
halilitar dan badai, tapi setelah itu akan ada kehidupan yang baru.
Sungai-sungai akan terisi, pohon-pohon tumbuh. Begitulah setiap hal dalam
kehidupan ini. Kejadian yang menyakitkan akan menumbuhkan sebuah harapan baru.”
Masih segar dalam bayangan, tragedi
sore itu yang telah meluluh lantakan kehidupannya. Tiap kali dia mengingat
kejadian itu, amarah dalam dada membuncah. Diapun akan menguntuk dunia dan
ketidakadilan. Siang itu, matahari bersinar cerah saat dia pulang sekolah,
sedang menyatap makanan, sementara ayahnya sedang menikmati secangkir kopi.
Sebelum pintu rumahnya digendor, segerombolan laki-laki berseragam dengan senapan ditangan, menorobos masuk. Piring yang berada dipegangnya jatuh
kelantai. Ibu yang baru selesai sholat, langsung keluar menyaksikan keriuhan.
Ayah, berdiri dengan wajah getir tapi tidak ada ekspersi ketakutan disana.
“Apakah bapak, namanya pak Darman?”
dengan nada keras laki-laki itu bertanya dan sorot mata yang tajam.
Bapak mengaguk dan menatap laki-laki beseragam yang
menodongkan pistol kerahnya.
“Bapak ditangkap atas tunduhan
sebagai ketua jaringan teroris, dan menjadi otak pengboman, di sebuah hotel
berbintang satu bulan silam.”
“Saya bukan teroris pak, saya warga
biasa. Saya tak pernah mengbom. Bentuk Bom saja saya tak pernah lihat.
Membayangkan saja saya takut.” kata bapak lantang.
“Diam.. berhenti berkelit. Ayo ikut
kami kekantor!”
“Tidak, saya tidak bersalah. Saya
tidak mau kekantor.”
“Kamu harus ikut atau pistol ini
akan melenyapkan nyawamu. Jangan banyak bicara, cepat.” Dia menyeret tubuh
tubuh ayah.
Rania terisak sambil memeluk ibunya.
Ayahnya terus melakukan perlawanan dan dia dengan tegas mengatakan tidak mau
ditahan. Meski laki-laki berwajah sangar itu memaksanya, tapi bapak tetap
berdiri tegak dan tegas mengatakan bahwa dia tidak bersalah.
“Suami tidak bersalah pak, jangan
tahan dia. Dia hanya seorang pembuat pisau. Mana mungkin seorang tamat SMP bisa
membuat bom. Sekolah saja untung dapat ijazah.” Jerit ibu histeris, saat tubuh suaminya ditarik
keluar. Rania tak kalah, dia meraung-raung, menarik seragam pria berpistol itu.
Tapi tubuhnya terlempar dan tersungkur, saat laki-laki itu mendorongnya.
“Ayah.ku tidak bersalah.. jangan
tangkap, dia.. kalian tidak boleh menangkapnya!”
“Ibu juga terlibat dari recana
pengboman, dan harus ditahan.”
“Tidak..tidak..saya tidak bersalah
pak, bapak salah menangkap orang. Kami cuma peduduk biasa.” isak ibu.
Tubuh ayahnya tetap diseret-seret, sekuat tenaga ayah melepaskan cengkraman laki-laki berseragam tersebut. Saat
dia mendengar istrinya juga akan ditahan. Dia berusaha lari untuk mencegah
istrinya tapi “door..” bunyi suara pistol, langsung memercikkan darah segar,
mengalir dari kepala, dan dada laki-laki tersebut.
“Aya…h,” teriak Rania.
“Aku dan istriku Tidak bersalah.” Mata
laki-laki itu menutup.
“Ayah!”
Ibu langsung pingsan saat melihat
suaminya tergeletak, dua peluru telah bersarang di badannya.
Dia memeluk tubuh ayahnya, tapi
laki-laki berseragam itu malah menyeretnya untuk menjauh, sebuah mobil bertank
besi, membawa ayahnya beserta ibunya. Diapun terus menjerit memanggil kedua
orangtuanya, dia mengejar mobil yang terus melaju dan akhirnya tertunduk sayu
penuh kepilu mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi.
Dua minggu dari situ, jenazah kedua orangtua
dibawah kerumah. Dan saat itulah semua terasa berhenti, kehidupan dan
harapannya. Semua telah hilang dan lenyap dalam sekejap.
Kata mereka kedua orangtuanya adalah
teroris, begitu juga dunia mengisahkan tentang keduaorangtuanya. Di berita,
dikoran, dan di sudut dunia manapun. Cerita itu bergulir. Dan semua menyematkan
kata teroris pada orangtuanya. Tapi
baginya orang-orang yang telah merengut harapan hidupnya, mengakhiri kehidupan
keduaorangtuanya. Mereka semua adalah teroris. Berapa bulan kemudian berita itu
meredup, samar-samar terdengar bahwa laki-laki berseragam itu telah salah
tangkap. Tapi dunia seolah egan membicarakan, sampai kisah itupun terkubur
begitu saja.
Ayahnya hanya seorang pembuat pisau dan
petani, sedangkan ibunya seorang ibu rumah tangga yang menghabiskan waktunya
membuat anyaman terbingkar dan saat sore menjelang ayahnya akan mengajar ngaji anak-anak
peduduk desa. Sementara ibu, sibuk didapur. Ayah laki-laki baik yang tak akan
pernah terpikir untuk membunuh orang, apalagi mengebom.
Ayahnya hanya laki-laki sederhana
yang mengajarkan banyak hal pada Rania. Dia tak pernah bermasalah dengan orang
lain, bertingkah aneh ataupun berbuat hal yang mencurigakan. Bila malam
menjelang ayah dan ibu menghabiskan waktu di rumah. Tak pernah terlihat orang yang
bertamu. Kehidupan mereka terbilang normal dan baik-baik saja, layak keluarga
lain yang penuh cinta kasih. Lalu kenapa mereka diagap teroris. Atas dasar apa
?
Ayah telah tenang disana begitupun juga ibu. Kisah
itupun telah terhapus oleh waktu berganti berita lain. Tapi bagi Rania, setiap
kali dia teringat peristiwa itu maka rasa sakit itu menjalar kesekujur tubuhnya.
Mengingat tubuh kaku keduaorangtuanya terbungkus kain kafan.
Untuk mengobati luka tersebut dan
menghapus kejadian pahit itu, dia selalu mengahabiskan waktunya bersama hujan.
Membiarkan tubuh disapuh, berharap air yang menentes itu akan menghapuskan setiap
hal yang menyedihkan dalam hidupnya. Rania dan hujan, hanya dengan hujanlah dia
bisa bertahan dan besok masih ada harapan. Sepuluh tahun peristiwa itu berlalu,
dan dia tetap bersahabat dengan hujan.
By
Rosella Mecca
Tiada ulasan:
Catat Ulasan