SEPASANG MATA PENUH CINTA By
Rosella Mecca
Dia selalu menggandeng tangan
istrinya, menggegam penuh kehangatan. Perempuan dengan wajah yang memiliki
lipatan dan kerutan di wajahnya. Perawakan tinggi dengan mengenakan kacamata.
Sedangkan laki-laki itu, suami telah tumbuh uban dikepalanya tapi masih bugar.
Usia istrinya lebih mudah tujuh tahun. Setiap bulan dia membawa istrinya untuk
kontrol rutin kerumah sakit. Dia dengan sabar mengikuti gerak lamban sang istri, yang badannya sering bergetar karena penyakit
yang dideritanya. Sebuah penyakit saraf bernama parkison, selain itu ibu itu
pernah menderita stroke non hemoragik, dua tahun silam.
“Selamat pagi buk, silahkan duduk.”
Aku menyapa mereka dengan seyum.
“Terimakasih,” jawab laki-laki itu.
“Apa yang dirasakan buk? Apakah keluhannya?” sambil mengukur tekanan darah.
“Iya suster, tangannya masih suka
bergetar dan kaku. Tapi sudah lebih baik dari bulan kemarin. Tapi nafsu
makannya menurun. Minum obat susah suster.” Jawab suaminya.
“Ibu, mau sembuhkan ?”
Dia hanya mengagukan kepala sambil
menunduk.
“Kalau ibu mau sembuh harus
semangat, obatnya diminum dan harus makan.”
Setelah melakukan pemeriksaan dasar,
kutulis semuanya dilist kuning. Dan mempersilahkan mereka menunggu karena
dokter spesialis belum datang.
Laki-laki itu bercerita bahwa tahun
ini jadwal keberangkatan haji mereka, tapi dia bingung melihat kondisi istrinya.
Apakah mungkin bisa ikut bersama dengannya, kalaupun dia berangkat sendiri, tak bisa meninggalkan istrinya terlalu lama.
Siapa yang akan merawatnya. Semua aktivitas istrinya, dari mandi, menyuapi,
memasangkan pakainan dan lainnya sebagai suami yang melakukan. Diapun tidak
ingin merepotkan anaknya dan tidak percaya bila orang lain yang merawat
istrinya. Sepasang suami istri ini, memiliki empat orang anak. Semua telah
menikah, 3 diantaranya merantau di kota seberang sedangkan satu anaknya tinggal
tidak jauh darinya tapi habis
melahirkan. Anaknya tidak keberatan untuk mengurus sang ibu.
Dari
20 tahun silam, mereka menyisihkan tiap uang yang mereka dapatkan untuk
ditabung sebagai biaya berangkat ketanah suci. Semua recana mereka hamper terwujud.
Bibir wanita itu tampak bergetar ingin mengatakan sesuatu pada suaminya.
Laki-laki itu, menggegam tangan istrinya,
mencoba memahami apa yang dia katakan. “Iya kita akan berangkat
bersama.” lalu bulir airmata mengalir dari mata istrinya, dia tampak terisak.
Laki-laki itu, memeluk tubuh istrinya untuk menenangkan. “Kita akan berangkat
kesana.”
“Kalau ibu mau berangkat ketanah
suci, harus rajin minum obat dan mau makan. Biar cepat sehat dan bisa ikut
berangkat haji.” Kataku.
“Dengarin kata susternya, jangan
malas makan dan minum obat.”
Wanita itu hanya mengagukkan kepala,
dan suami menghapus airmata yang mengalir dari mata perempuan itu.
“Mungkin saja, ibu bisa ikut
berangkat haji meski kondisi seperti. Tapi bapak tentu akan sedikit kerepotan.
Tapi disana ada tenaga medis yang stanby. Akupun ikut mendoakan semoga kondisi
ibu semakin membaik dan bisa ikut.” selaku
“Terimakasih suster.”
Dia sepasang suami istri, memadang
mereka memberikan sebuah arti bahwa
begitu bentuk sebuah kasih. Aku sempat menanyakan kepada bapak itu, apa
alasan dia begitu setia pada istrinya, menjaga dan merawatnya. Ah..! kondisi
seperti ini, pemadangan yang begitu sangat jarang kulihat dan bisa dibilang
baru pertama kali setelah bertahun-tahun bekerja disini. Aku lebih sering menyaksikan
kondisi sebaliknya. Dari para pasien yang berobat kesini.
Laki-laki itu mengatakan bahwa aku
telah memilih dia menjadi istriku, maka jiwaku dan jiwa telah menyatu menjadi
satu. Sakit yang dia rasakan adalah sakitku, begitu juga bahagia yang
dirasakan. Sepasang kaki akan pincang bila salah satu kakinya sakit. Sudah
seharusnya dan kewajibanku untuk menjaganya, aku tak ingin kehilangan satu kaki
itu. Separuh kehidupan dan sampai hayatku dialah kaki yang akan menemani
perjalan hidup dan mengarungi semuanya. Aku adalah laki-laki, bila dulu saat
masih sehat dia merawatku dengan begitu baik, lalu betapa tidak
berprikemanusian dan tidak memiliki hati bila meninggalkannya. Dia menderita
penyakit seperti ini, aku memiliki andil didalamnya. Dia telah bekerja begitu
keras untuk merawat rumah, menjaga anak-anak, terkadang membantu membanting
tulang. Inilah saatnya aku membalas.
Doaku, saat ini sus, cuma satu berharap diberi kesehatan agar bisa terus menjaganya.
Sungguh kuterharu mendengar kata
yang lahir dari bibir bapak itu. Hatiku berdesir dan menitipkan doa dalam hati,
“Tuhan bila nanti Kau sandingkan aku dengan seseorang, moga sikap dan prilaku sebaik
bapak itu, kesetiaannya juga begitu.” Teringat sebuah quete “Orang mencintai saat kau memiliki segalanya, itu biasa. Tapi yang luar biasa adalah saat
kau tak memiliki apa-apa, sedang tertimpa musibah sehingga jatuh miskin, atau
kehilangan anggota tubuh karena kecelakaan, dan mungkin saat kau jatuh sakit. Dia
tetap mencintaimu itu baru sesuatu yang luar biasa.”
Hari ini, sepasang suami istri itu
kontrol kembali ke rumah sakit, selain memeriksa istrinya bapak itu berpamitan
kepadaku bahwa minggu depan mereka akan berangkat haji. Bahagia, aku
mendengarkannya, tak lupa mendoakan semoga perjalanan mereka diberikan
kelancaran. Tampak sinar kebahagian dari mata wanita itu, sebuah pancaran.
Bagaimanapun ini adalah mimpi mereka berdua. Mimpi mereka akan terwujud.
****
Laki-laki itu datang ke poli, tapi
kali ini ada hal yang berbeda. Dia tidak bersama istrinya. Aku langsung
menanyakan keadaan ibu, bagaimana kondisinya. Matanya berkaca-kaca, sejenak dia
terdiam. Suara tercekat. Aku
mempersilakannya duduk terlebih dahulu.
“Suster, istri saya telah pergi
menghadap illahi.”
Aku sangat kaget mendengarnya,
tiba-tiba buku yang kupegang terlepas. Sesaat kemudian aku bisa mengendalikan
diri dan mengucapkan turut berduka cita. Seketika rasa sedih bergemalayut, tak
akan kulihat lagi sepasang mata yang penuh cinta itu. Sepasang mata yang mengajar tentang arti kasih.
“Satu
hari setelah kami sampai di rumah. Dia tidak sempat dibawah kerumah sakit,
semua berjalan begitu cepat. Dia mengeluh sakit kepala dan tiba-tiba terjatuh.
Tapi aku bahagia karena impian kami untuk ketanah suci telah terwujud. Dan
tuhan memberikan kemudahan selama menjalankan ibadah. Selama ditanah suci
kondisi kesehatan sangat baik, tangan dan tubuhnya tidak pernah bergetar.” Bapak
itu menceritakan dengan mata sendu.
“Bapak
yang sabar, ini semua recana dari tuhan. Dan ibu pasti sudah bahagia diatas
sana.”
“Iya
suster. Suster, saya ingin mengucapkan terimakasih karena telah merawat istri
bapak. Bapak hanya ingin memberikan kenangan-kenangan ini dari tanah suci. Ini
ibu yang membelikan. Katanya buat suster karena telah memberikan dia semangat
buat ketanah suci.”
“Terimakasih pak,”
Sebuah
mukena, tasbih dan sekontak kurma beserta air zam-zam. Bapak itu pergi meninggalkan
aku yang masih tercenung. Iya sepasang mata yang penuh cinta, itulah kisah
tentang suami istri yang begitu setia pada istrinya. Dan aku tak akan pernah melihat mereka lagi.
****
Tiada ulasan:
Catat Ulasan