Derap
langkah terkayuh bersama sebentik mimpi yang telah tergerus oleh realita kehidupan. Dalam
bimbang aku melangkahkan kaki, dalam diam aku termanggu sepi, dalam dekapan
malam aku menjerit menatap malam. Entahlah ada sebuah asa yang mengajal di dalam
dadaku.
Rumah
munggil berdiri di pingiran sungai Musi. Menampakan wajah letih yang lelah
bertarung dengan waktu. Itulah, ibu yang kian rentah dan keriput. Rambut yang memutih
menghiasi kepalanya. Membuat hatiku terasa miris. Andai saja, aku bisa bekerja
menghasilkan uang, pasti tidak akan merasa bersalah seperti saat ini.
Sudah hampir satu tahun semenjak dari
wisuda, tapi aku tetap menganggur. Aku sudah
berkeliling kota memasukan lamaran. Tapi tak satupun yang diterima. Meski sudah
mengikuti serangkaian tes tapi lagi-lagi gugur pas wawancara.
Biaya
kuliah mahal tapi mendapatkan pekerjaannya bikin pusing tujuh keliling. Dulu,
aku mengira sekolah kesehatan bisa mudah
dapat kerja dan menghasilkan uang yang
banyak. Dengan antusias yang tinggi mengikuti serangkai tes calon mahasiswa.
Diantara 4000 peserta tes, aku terjaring
masuk 100 siswa yang diterima. Aku dapat
mengalahkan ribuan pendaftar senangnya bukan main.
Lembayung
hidupku telah mencapai pada sebuah titik kelemahan. Aku lelah masih belum bisa
mandiri. Kenyataan pahit yang harus aku terima. Bagaimana tidak setelah telanjur
melangkah, aku menemukan sebuah realita yang membuat gigit jari. Sekolah kesehatan yang ada di kota
Palembang, baik swasta dan negeri mencapai
tiga puluhan. Setiap tahun mengeluarkan lebih dari 80 lulusan. Seandainya
dikalikan maka akan mendapatkan hasil 2400 orang yang lulus sekolah keperawatan
tiap tahunnya. Sedangkan rumah sakit, klinik dan puskesmas jumlah tetap. Kemana
mereka akan menyalurkan ilmu. Menjadi sebuah pertanyaan yang menarik, tumbuh
dibenakku sejak berada di tingkat tiga.
Kade, teman sekamarku saat di asrama merasa
kasian dengan nasib yang menimpaku. Berkali-kali membujuk agar memasukkan lamaran kerumah
sakit Maria. Selain gajinya besar dia siap membantu agar bisa masuk Namun aku berpikir ulang, bila masuk kesana secara otomatis harus melepaskan jilbab. Ada berapa temanku yang
sudah duluan melakukan itu. Saat bekerja tidak memakai jilbab tapi sepulang kerja jilbab dipakai kembali. Memang
aku lagi membutuhkan pekerjaan dan uang. Tapi sebuah keyakinan ini sangat mahal
harganya, aku tak ingin menjualnya dengan apapun termasuk materi. Bagiku, jilbab
punya makna tersendiri. Bukan sekedar
penutup kepala tapi sebuah kewajiban bagi seorang muslim.
*****
Saat
senja itu datang, aku menatap langit kelap yang bertabur kabut dibalik jendela.
“Sar,
tadi ibu dapat telpon dari nenek, katanya bekerja di kampung saja. Disana tenagamu sangat dibutuhkan.
“Di
kampung bu, memang nenek yang mana ? Bukan nenek sudah meninggal !”
“Nenek dari orangtua ayahmu,” kata
ibu sambil menatapku.
“Memang ayah punya keluarga ?”
tanyaku dengan nada bingung, selama ini ayah dan ibu tidak pernah bercerita
atau mengujungi nenek.
Mata ibu seketika berbinar, perlahan dia mendekatiku dan mengelus kepala,
dia tetap membisu.”
“Ibu, sebenarnya ada apa?”
“Nak, ceritanya panjang. Dulu saat
engkau masih bayi. Ayahmu difitnah telah
menyebarkan aliran sesat. Semua bermula,
saat dia menolak keras untuk melakukan
sesajen sebagai ucapan terimakasih kepada leluhur. Ayahmu yang keluaran dari
pesantren mengerti bahwa itu adalah sebuah
kesyirikan. Masyarakat yakin, pohon beringin dipinggir sungai, sebagai rumah puyang si jagat penanti. Bila tidak
diadakan sesajen maka akan membawa korban jiwa. Ayah terus memberikan
pencerahan dan mengajak untuk tidak melakukan sesajen. Lebih baik uangnya untuk
dibelikan seseuatu yang bermanfaat untuk menunjang kemajuan kampung.”
“Masyarakat
mulai terpengaruh dengan omongan ayah. Mereka tidak lagi memberikan sesajen.
Suatu hari ada berapa anak terjangkit penyakit kulit dan dua orang meningal dunia. Mereka mulai berbalik haluan
menetang ajaran ayah. Ayahmu mencoba memberikan penjelasan kepada
masyarakat bahwa penyakit kulit itu disebabkan
oleh air yang tercemar. Selain itu bisa juga karena kebiasaan penduduk yang
sering membuang air besar di sembarangan
tempat, di bawah pohon atau di tengah hutan. Masyarakat yang telanjur percaya
dengan hal mistis dan kekuatan batang pohon itu. Mereka kembali melakukan
sesajen sebagai tanda ucapan permohonan maaf.
Ayahmu yang gerah akhirnya dia nekad,
selepas sholat isya bersama dua orang temannya,
menebang pohon itu.”
“Perbuatan
ayah memicu kemarahan orang kampung, orangtuanya sangat marah dan geram apalagi
posisi bapak sebagai kepala suku. Ayahmu dipukul pakai kayu dan diusir dari kampung halaman. Selain itu keduaorangtua
tidak mau mengakui dia lagi sebagai anak. Kalau sampai dia masih terlihat di kampung ini. Kakekmu
tidak segan untuk membunuhnya. Pada akhirnya untuk mencari aman merantaulah
kekota. Itulah sebabnya kenapa ayahmu tidak pernah mengajak kamu pulang
kampung.”
Hanya desahan panjang yang
keluar. Bulu roma bergidik membayangkan
cerita ibu. Seandainya aku bekerja dikampung itu, tidak akan betah. Kepercayaan mereka yang masih
kental dengan dunia mistis. Belum lagi sosok nenek yang tampil dipelupuk
mataku. Seorang wanita tua yang nyiyir dan suka marah-marah. Ini bukan
merupakan solusi dari permasalahan ini.
“Jangan takut itu
cerita masa lalu, sekarang keadaan sudah
berubah? Bagaimana kamu mau?” Sela ibu sepertinya dia bisa membaca jalan
pikiranku.
“Bu, Sari
pikir-pikir dulu.”
Aku masih belum
yakin dengan peryataan ibu bahwa kampung
itu sudah benar-benar berubah.
“Ibu menunggu jawaban, semua
keputusan ada di tanganmu.”
*****
Setelah
melewati perenungan berhari-hari. Aku menerima tawaran nenek untuk bekerja disana.
Meski rasa was-was kadang hinggap d idalam dada. Terkadang bayangan buruk itu
seketika hadir, namun aku terus menyakinkan hati bahwa ini pilihan tepat dan
semua pasti baik-baik saja.
Berat sekali untuk berpisah dengan
ibu dan adikku, tapi inilah pilihan yang harus dijalani. Aku tidak boleh terus-terusan
menjadi benalu tanpa menghasilkan apa-apa. Setidaknya disana aku bisa hidup mandiri
dan tidak menjadi beban bagi ibuku yang hanya seorang pejahit.
Aku tak menikmati perjalanan ini. Sepanjang
perjalanan hanya memejamkan mata. Sebutir kertas yang aku pegang, berisi alamat
dan no telpon yang harus dihubungi bila telah sampai. Menurut ibu nanti orang suruhan nenek akan
menjemputku. Di loket kami akan bertemu.
Aku berharap semuanya cepat berjalan
enam jam sudah terlewati dan mobil bis akhirnya
mendarat di loket. Senja mulai datang, aku mulai mencet satu persatu no HP yang tertera dikertas namun
tidak aktif . Aku mulai didera
kebimbangan.
“Kamu
Sarinya?” Tanya seorang laki-laki yang memakai baju kemeja. Usianya sudah
separuh baya. Kulitnya hitam terbakar oleh matahari, keringatnya satu persatu
menetes. Jelas kelelahan yang ada di wajahnya.
“Iya,
bapak siapa?”
“Alhmdulillah
, bapak yang disuruh nenekmu menjemput
kamu nak.”
“Ohw, aku tadi menghubungi bapak tapi tidak aktif,”
keluhku.
“Iya
tadi hpnya ketinggalan, untung saja bapak melihat nama Sari ditasmu.”
Aku melihat sebuah kertas yang
tertempel di tas. Nama yang sengaja dipasang oleh ibu agar bila turun nanti
tidak tertukar. Haduh aku menutup muka
menahan malu, jadi sepanjang perjalananan tadi orang membaca tulisan itu.”
“Kamu
mau makan nak?”
“Nggak
pak, masih kenyang, kita langsung saja kerumah.”
Sebuah motor buntut melaju menembus
senja dengan kecepatan tinggi agar tidak sampai malam di kampung. Bapak itu terus
berbicara menceritakan tentang berbagai hal. Aku agak kurang menangkap apa yang
dikatakannya, logat bahasa yang sulit dimengerti dan deru motor yang memekakan
telinga. Hembusan angin kencang menerpa tubuhku.
Perjalanan yang melelahkan, rasanya tulang-tulang
rontok semua. Sebuah rumah panggung yang diterangi oleh sinar lampu minyak.
Terlihat sunyi dan sepi. Ternyata listrik belum masuk di desa ini. Dua wajah
yang masih gagah mengulas seyum dibawah
tangga dan memeluk tubuhku. Nenek dan kakek tubuhnya masih sehat dan bugar. Giginya masih bersih dan terlihat masih
lengkap. Padahal kalau aku menerka usianya diatas 60 tahun. Aku awalnya tidak
percaya bahwa itu nenekku habis usianya lebih mirip ibu. Tapi setelah bapak
yang mengantarkan mengatakan bahwa itulah nenek dan kakekku.
Nenek dan kakek menyambutku dengan
hangat. Perkiraanku jauh meleset segala
sesuatu telah dipersiapkan sebuah kamar yang tertata dengan rapi. Aroma pandan dan
melati memenuhi sudut kamarku. Aroma wewangian yang sangat aku sukai dan
menjadi therapy rileksasi. Aku
melepaskan lelah setelah sholat isya dan tanpa sempat bersenda gurua atau
berbasa-basi langsung terlelap.
Saat fajar menyising sebentuk tubuh
mengelus kepalaku. Tubuhku menggeliat membuka mata, bersama itu aku mendengar saut-menyaut
asma Allah yang berkumadang. Setelah kesadaranku pulih, ternyata sosok nenek, tempat berada di kepalaku. Dia sengaja
membangunkan untuk sholat shubuh. Sebenarnya
masih letih namun aku beranjak untuk membasuh muka menghadap sang khalik.
Di balik jendela, aku melihat kakek dan nenek
melakukan aktivitas. Nenek menumbuk padi sedangkan kakek mencangkul tanah. Mungkin
ini salah satu rahasianya kenapa tubuh mereka terlihat masih bugar. Pagi-pagi
sudah melakukan olahraga otot. Benar apa
yang dikatakan ibu, keadaan telah jauh berubah.
Suara dentemunan padi yang ditumbuk
saut-menyaut. Mungkin para wanita di desa
ini melakukan aktivitas yang sama. Hawa dingin membuatku menarik napas berkali-kali
dan menikmati manisnya O2.
Di meja makan tersedia buah-buahan.
Seduhan teh yang dicampur dengan jahe
yang dibuat oleh nenek. Aromanya wangi. Pas sekali menghangatkan tubuh. Nasi
jagung dan sayur hijau terhidang juga. Sebuah kenikmatan yang tak aku rasakan
di kota. Kalau lama-lama aku disini bisa
awet muda dengan gaya hidup seperti ini.
Hari ini aku mulai berkenalan dengan
penduduk kampung ditemani oleh nenek. Halaman rumah mereka penuh dengan
tumbuh-tumbuhan hijau. Mereka menyambut dengan ramah dan sangat bersahabat
sekali. Rasanya aku malu menjadi seorang
perawat, prilaku mereka jauh lebih sehat
daripada pola hidupku mereka terlihat bugar-bugar. Tidak ada tanda-tanda kurang gizi.
Seminggu disini aku mulai merasa nyaman
dengan kehidupan.. Meski belum ada lampu. Memang dari segi teknologi sangat
tertinggal tapi dalam segi tata cara hidup mereka lebih maju dari orang kota.
Aku perlahan-lahan mulai belajar dari mereka yang dekat dengan alam.
Berangin-angin di pelantaran depan
rumah sambil menikmati ufuk timur yang menguning. Nenek menawarkan rembusan air
mengkudu yang dicampur dengan madu. Aku bergidik ngeri membayangkan meminumnya.
Tapi mereka meminumnya dengan nikmat sekali, akhirnya aku ingin mencoba. Rasa
pahit dan manis madu.
“Enaknya nek, meski rada-rada
pahit?”
“Kamu belum terbiasa saja minum air
rebusan mengkudu ini, khasiatnya sungguh memperkuat sistem imun, pegal-pegal, darah
tinggi dan bermacam penyakit tidak mau mendekat.”
“Tumbuh-tumbuhan hijau itulah sumber
kesehatan. Lihat tubuh kakek dan nenek tetap kekar dan terlihat sehatkan.
Rahasianya adalah makanan yang masuk kedalam tubuh nenek semuanya alami.
Seratus persen berasal dari alam. Karunia sang pencipta tuhan semesta alam yang
wajib untuk kita manfaatkan dan
disyukuri.” Sela kakek menimpali.
Apa yang dikatakan kakek benar
tumbuh-tumbuhan adalah apotik hidup. Kebiasaan yang sering makanan instant, banyak
terpajan zat kimia melalui makanan. Maka tak heran zama sekarang banyak
terserang penyakit aneh seperti kanker. Bandingkan orang-orang tua zaman dulu
usia harapan hidupnya lebih panjang sampai diatas 100 tahun bandingkan dengan dunia sekarang paling bater
usia 60tahun.
“Aku setuju kek, Sari mau tanya sesuatu
bolehkan?”
“Mau tanya apa cucuku?”
“Kakek belajar darimana semua ini?”
“Dulu
didesa ini ada seorang tabib yang
tersesat. Kebetulan sekali saat itu kampung ini sedang terjangkit penyakit kulit yang tak kunjung sembuh. Dengan ramuan yang dia buat. Secara
perlahan-lahan penyakit kulit yang menjangkit masyarakat itu sembuh. Tabib itu
selain mengenalkan tumbuh-tumbuhan sebagai dewanya kesehatan. Tabib itu juga
mengajarkan bagaimana cara bercocok tanam yang benar. Tidak menggunakan zat
pestisida yang dapat merusak kualitas tanaman dan tanah. Selain itu dia juga
mengajarkan ilmu agama kepada kami. Secara perlahan penduduk desa mulai
mengerti. Mengamalkan apa yang diajarkan sampai sekarang. Tabib itu pergi tanpa
kami ketahui. Semenjak saat itu kakek merasa bersalah dengan bapakmu. Tapi rasa egois masih terlalu tinggi untuk
memintanya kembali pulang, saat itu. Semua terlambat bapakmu sudah dipanggil
tuhan.” Bulir-bulir airmata membasahi pipinya.
“Itu alasan kenapa kami ingin sekali kamu pulang.
Dengan cara ini nenek dan kakek melepas rasa kangen kepada bapakmu.” Katanya
lirih.
Aku mendekap tumbuh kakek yang ada
disampingku.
“Aku sayang sama kakek dan nenek,
aku janji akan menemani kalian,” aku berkata setengah berbisik di telinganya
Secara perlahan tapi pasti aku sudah
mulai menyatu dengan kehidupan . Sebuah aroma wangi dan masih alami aku temukan
disini. Sebuah rasa yang indah yang tak terukir dalam hidup menjadi wewangian
malamku. Seyum mereka bersama putaran poros bumi. Disini aku mulai menjemput mimpi
mempelajari tentang alam dan apa yang bisa aku tawarkan kepada dunia yaitu obat
herbal warisan nenek moyang.
*****
By : Rosella Mecca
Tiada ulasan:
Catat Ulasan