CERPEN
: LAKI-LAKI TAK BERNAMA
Perpustakaan
adalah rumah kedua bagiku. Tempat yang paling yang nyaman. Berkelana bersama
deretan buku bisa melepaskan rasa penat yang mendera. Disana hanya keheningan
dan kebisuan yang tercipta, dengan puluhan pasang mata yang tenggelam dalam
dunianya. Tak ada kebisingan tentang trend mode tas terbaru, make up yang tak
luntur, sepatu artis A, tak ada suara sumbang tentang membicarakan
dia itu begini, dia itu begitu, dia itu orangnya tak enak. Kedamainan disini
damai dari suara suara sumbang dunia. Aku biasanya menegelamkan diri ber
jam-jam bersama lautan buku, setiap saat dapat kunikmati tanpa harus
mengeluarkan sepeserpun uang. Bila tak ada jadwal kuliah dan tugas yang harus
dikerjakan maka aku akan berlabuh keperpustakaan.
Seperti
biasa hari ini, aku pergi keperpustakaan setelah beres-beres dan merapikan
ruangan sempit tempat tinggalku, rumah kostan. Tidak lupa, mengajal perut dengan gorengan. Aku
merasa semua telah siap masuk kedalam tas. Dengan headset terpasang di telinga
bersama dendangan lagu raihan kakiku melangkah keluar menuju bis. Hari
ini aku akan mencari referensi buku dari tugas yang diberikan dosen, sekaligus
mencari buku bacaan yang bagus. Setelah menitipkan tas dan meletakkan sepatu di
rak, aku memasukan nomor anggota di layar computer. Lalu bergegas masuk ke
dalam ruangan, ruangan terlihat sepi hanya ada petugas dan berapa orang yang
sedang sibuk membaca.
Aku
langsung menghidupkan lattop setelah mendapatkan buku yang dicari. Perpustakaan
ini menyediakan jaringan WIFI gratis. Program yang sangat membantu dan menambah
daya tarik untuk terus berkunjun, selain membaca buka bisa internet
gratis. Aku mulai mengetik, menyelesaikan tugas kuliah. Belum setengah
jam lattop sudah berbunyi tanda baterai low. Aku tersadar bahwa lupa membawah
casan. Aku hanya bisa menepuk jidat dan menggigit bibir, mau pulang malas
karena naik bis yang melelahkan dan hanya menghabiskan waktu di
perjalanan. Aku melihat sekeliling, mencari-cari siapa tahu ada yang memiliki
tipe lattop yang sama. Mataku tertuju pada sebuah meja, lattop setipe dengan
punyaku. Seorang laki-laki yang tenggelam dalam bacaan, sepertinya dia lagi
tidak menggunakan lattop. Sejenak berpikir dan mencoba mengumpulkan keberanian,
bangkit berdiri kearah sana.
“Maaf
mas, boleh saya pijam casannya? Saya lupa bawah, lattopnya mati dan harus mengetik tugas yang dikumpulkan hari
ini?”
Laki-laki
itu tetap larutan dalam bacaan tanpa mengeserkan matanya dari buku yang dia
pegang. Hanya mengatakan “Iya, silahkan”
“Benaran
boleh,” kataku berusaha memastikan, dia hanya mengagukkan kepala. Aku menggeser
kursi dan duduk tak jauh dari dia. Kami larut dalam aktivitas masing-masing.
Tak terasa empat jam telah berlalu,
sudah masuk dzuhur. Aku bergegas membereskan peralatan dan meletakkan
buku pada keranjang tempat buku yang selesai dibaca. Jam 2, aku ada jadwal
kuliah, sisa waktu harus akan digunakan sholat dan makan siang. Aku meminta izin
dan mengucapkan terimakasih padanya, lalu berlalu menghadap meja petugas untuk
memijam buku bacaan.
****
Shubuh-shubuh
aku mendapatkan sms bahwa dosen berhalangan hadir, jadi tidak ada mata
kuliah untuk hari ini. Tak ada pelabuhan yang dituju kecuali keperpustakaan
memijam buku dan mengembalikan buku yang selesai dibaca. Pagi-pagi sekali, aku
telah bersiap tak perlu waktu lama bispun lewat membawa diriku ke depan
perpustakaan. Suasana halaman masih sepi, langkah kakiku suru,
pertanyaanpun muncul apa mungkin hari ini perpustakaan libur tapi biasanya ada
pemberitahuan. Aku menatap pintu masih tertutup rapat, benar dugaanku hari ini
perpustakaan tidak buka. Membalikkan badan memutuskan untuk berkunjung
keperpustakaan kampus.
“E…i
perpustakaan jam 8.30 bukanya, ini hari sabtu. Kita kepagian datangnya?” Tegur
seorang pria yang duduk di pinggiran dinding. Aku menghentikan langkah dan
berbalik arah. Aku teringat sabtu minggu perpustakaan memang agak siang
bukanya. Pria yang menegur adalah orang tempat aku memijam casan kemarin. Aku menunju ke arahnya.
“Kita
Kepagian datangnya,” sapanya.
“Iya,
kita kerajinan banget.”
“He…he
seharusnya, petugas niti kunci kekita saja,” seloronya.
“Harusnya
sih begitu, biar kita ngak usah nunggu, kayak orang habis kena becana,” selaku
“Ha…ha,”
Akupun
ikut tertawa, dan mengambil posisi duduk tak jauh darinya. Dia tampak memegang
buku harry potter.
“Suka
baca novel juga?” Tanyaku
“Iya
begitulah, sarapanan pagi.”
“Ehms,
lainnya sarapan buku. Lah saya sarapan gorengan.”
“Ha…ha,
kamu bisa saja. Daripada begong ngak ada kerjaan.”
“Betul,
betul.. saya suka itu.”
“Kayaknya
kamu suka baca juga?”
“Ngak
juga sih, tapi mengisi waktu kosong. Seperti katamu daripada bengong. Tapi
bacaanku yang ringan-ringan saja kayak
novel. Ngak kuat kalau yang berat-berat.”
“Ha…ha,”
kami tertawa bersama.
Tak lama berselang tampak petugasnya datang,
kami sengaja membiarkan petugas masuk lebih dahulu. Kamipun beranjak masuk
kedalam. Tentu petugas itu sangat hapal dengan wajah kami berdua. Seyum manis
dia berikan.
Sejak
saat itu, kami selalu terlibat obrolan, membicarakan tentang buku, membedah bersamanya
dan bertukar pikiran tentang berbagai hal. Aku selalu keluar perpustakaan lebih
dulu dari dia, karena biasanya ada jadwal kuliah dadakkan yang seketika datang.
Saat
dia bertanya siapa penulis yang paling aku sukai, aku menjawab lumayan banyak
ada kang Abik, Andrea hirata, dan Tere Leye. Dia bertanya lagi “apa aku memiliki
buku mereka ?” Aku hanya terseyum kalau buku kang Abik dan Andrea hirata mengkoleksi lengkap, kalau Tere leye tak lengkap. Tapi hampir semua bukunya sudah
dibaca, hasil mijam punya teman. Berapa tahun terakhir aku harus memedam
hasrat untuk membeli buku novel karena
kebutuhan kuliah yang begitu banyak dan terkadang tidak terduga. Buku-buku
kuliah harganya mahal dan terkadang terpaksa membeli agar tak bergantung
dengan perpustakaan. Hanya boleh pijam satu buku. Belum lagi mempersiapkan buku referensi
untuk skripsi kukelak biar tidak keteteran. Dari sekarang sudah dipersiapkan,
jadi pas tiba waktunya semua beres.
Dia
memiliki sudut padang yang berbeda denganku tentang buku favorit. Aku
memfavoritkan penulisnya karena bukunya
laku di pasaran. Tapi bagi dirinya
seluruh buku yang layak dibaca adalah favorit. Dia mengatakan bahwa buku
itu dilahirkan dari tetesan pemikiran dan kerja keras seseorang. Dia
mengatakan bahwa suka memburu buku yang
cuci gudang, selain harganya murah dan beralasan bahwa dari buku itu bisa
belajar kenapa tidak di sukai pasar. Aku hanya mengaguk tanda setuju. Waktu
terus bergulir tak terasa sudah dua minggu persahabatan ini terjalin, diskusi
terus berjalan. Meski begitu kami tak pernah bertanya sekolah dimana,
tinggalnya dimana dan pertanyaan-pertanyaan lain, sampai nama pun tak sempat
ditanyakan.
Aku
pribadi cuek, paling malas bertanya tentang hal pribadi seseorang apalagi pada
orang yang baru dikenal. Saat mengobrol kami hanya memakai aku dan kamu.
Memang keterlaluan sampai namapun tak sempat di tanyakan mungkin keasyikan
ngobrol. Begitu juga dia tak pernah
menanyakan siapa namaku, dan pertanyaan lainnya kami hanya membahas tentang
buku.
“Kamu,
saya lihat keperpustakaan terus, memang tidak ada kerjaan lain apa?” Tanyaku
suatu ketika, sambil meletakkan lattop di dekatnya dan pergi ke rak buku.
“Aku
lagi mengerjakan tugas akhir” jawabnya.
Tak
lama berselang dia berujar “Tenang bukumu aman pada posisinya.” Kami memiliki
kebiasaan sama, suka menyelipkan buku jauh dari padang mata seseorang di antara
tumpukkan buku yang berbeda. Bila waktu
saat kami mau pijam mudah mencarinya dan karena jumlah buku terbatas terkadang suka keduluan di pijam
orang lain. Terpaksa trik jitu ini kami lakukan, perbuatan yang tak patut di contoh. HPku bordering,
suara sumbang terdengar dari teman sekelas yang memberitahu bahwa
jam 11 harus ke kampus, ada pengarahan tentang tugas akhir. Aku bergegas
setelah mengambil buku dan berpamitan untuk pulang duluan.
Tugas
akhir penulisan skripsi di majukan satu bulan dari recana sebelumnya. Kami diberi
waktu seminggu untuk mengajukan judul. Berjuang habis-habis focus mencari
materi skripsi dan konsultasi sehingga tak ada waktu lagi untuk keperpustakaan.
Tidak lama dari itu aku membeli modem jadi bisa ngenet di kostan, tak perlu menghabiskan waktu diluar mencari internet
gratis. Aku tegelam dalam rutinitas dan dikejar-kejar waktu untuk menghadap
pemimbing dan jadwal ujian yang kian dekat.
Aku
bisa bernapas lega karena bisa selesai dengan tepat waktu. Aku teringat dengan
sesuatu, buku yang dipijam dan belum sempat di baca. Aku menempuk jidat
dan garuk-garuk kepala, berapa denda yang harus dibayar atas keterlambatan
pemulangan buku itu .
“Waduh,
sudah hampir lima bulan aku tak berkunjung keperpustakaan pusda, semakin cepat
semakin baik memulangkan buku ini,” desis hatiku. Denda yang harus aku terima
delapan puluh ribu setelah mendapat potongan dari petugas karena sudah kenal.
Aku tak berniat untuk memijam buku lagi
takut lupa memulangkannya. Setelah aku terima cek denda. Petugas itu
membuka laci menyodorkan sebentuk kado
dia mengatakan ini pemberian dari temanmu suka berkunjung ke perpustakaan. Dia
bilang kalau nanti kamu keperpustkaan tolong berikan ini. Aku memutuskan
untuk pergi kekampus mempersiapkan syarat-syarat yudisium.
Di
kampus aku membolak-balik dan membuka bungkusan. Sebuah buku novel yang
berjudul Sunset Bersama Ronsie penulis
Tere Leye. Aku hanya berguman dalam hati buku keluaran terbaru dari
penulis Tere Leye, berapa hari yang lalu aku hanya bisa memadang buku ini terpajang di toko buku, hari ini
berada di tangan. Lembaran pertama kubuka, berisi tulisan “Sahabat
terimakasih atas diskusi yang terjalin, sangat membantuku dalam ujian akhir.
Semoga sukses atas mimpimu. Mungkin suatu hari nanti kita bakal bertemu dalam
waktu dan kesempatan yang berbeda. Ini novel yang bagus, kamu harus membaca dan
berharap kamu suka." Aku hanya terseyum dalam hati, semoga suatu hari
nanti kita bisa berjumpa dalam kesempatan dan kondisi yang berbeda.
“Tasya….Tasya…”
teriak ibu dari dapur. Aku terperajat dari lamunan dan buku novel sunset
bersama ronsie terjatuh dari tangan. Tiga tahun telah berlalu sejak hari itu,
dan aku masih suka memadangi buku ini. Entah kapan tuhan akan mempertemukan
kami. Laki-laki tak bernama.
***
By
Rosella Mecca
Tiada ulasan:
Catat Ulasan