Telahir di kampung yang termasuk
kategori terpecil dan tertinggal, disana aku tumbuh dan dibesarkan. Hutan yang
menghijau dan sawah membentang, selalu memberi
oksigen yang menyejukan, beserta aneka buah yang selalu ada setiap musimnya.
Dari sanalah sebuah mimpi itu tersemai.
Di tanah kelahiranku, ada sebuah
kebanggaan tersendiri bila anaknya menjadi seorang anggota militer, mungkin
karena nenek moyang memiliki aliran darah pejuang. Kami sering mendengar cerita
nenek dan kakek tentang zaman pejajahan.
Maka tak heran, tak hanya saya, sebagian
besar pemuda dan pemudi di kampung rata-rata bercita-cita tentara, polisi atau
sekolah berkaitan dengan militer. Kedua orangtua dan keluarga sangat mendukung
cita-citaku, apalagi gayaku yang tomboy dan suka main di hutan. Aku mengikuti berbagai hal yang
menujang seperti meraton pagi-pagi, minum susu peninggi badan ( walaupun badan
tetap ngak tinggi) dan mengikuti karate.
Selepas SMP, aku memiliki
acang-acang untuk sekolah di pelayaran mengikuti jejak kakak sepupu. Apalagi
kecil harapan untuk masuk Sma Negeri karena tidak pernah dapat rangking. Sejujurnya terbersit
sebuah keraguan, seperti dua sisi hati. Satu sisi menginginkan untuk sekolah
disana, satu sisi lagi ada keraguan. Saat itu yang terbayang dibenak, andai
benar aku sekolah militer. Apa mungkin bisa menjalani kehidupan yang keras, seperti cerita kakak sepupu. Disana hal
yang paling utama adalah otot dan senioritas tinggi. Bila tidak kuat mental bisa
sakit dan tahan diri dengan perlakuan yang diluar naluri. Lama aku terdiam,
fisikku memang kuat. Tak akan mengeluh
kena angin, panas, kehujanan karena sudah menjadi mainan sejak kecil. Tapi
harus berlaku keras dan tegaan, rasanya bukan jiwaku. Sedangkan melihat, sapi
atau ayam dipotong saja aku tidak sanggup. Kalau sekolah militer, harus
memiliki jiwa tegaan dan terkadang berkaitan dengan kekerasan, main pukul dan
fisik.
Tuhan berkata lain, keraguanku terjawab,
nilaiku mencukupi untuk masuk Sma Negeri yang ada dikota. Kecil peluangku
mengambil SMK pelayaran dikota Palembang dan keluarga tidak begitu
menggebu-gebu lagi. Sebenarnya dari kelas tiga smp mulai suka membaca buku dan
majalah. Ada terbersit keinginan mengenakan jilbab, efek sering baca majalah
annida. Dari sanalah kalau membeli pakaian yang lengan pajang. Hingga hidayah
itu menyapa, tepat dikelas dua SMA. Aku resmi mengenakan jilbab. Keluarga dan orang-orang
sekitar sempat meragukan, keputusan dan kemantapan hati untuk menutup aurat. Hari
itu aku memutuskan untuk tidak ikut karate lagi, apalagi saat itu mentor atau
guru tidak membolehkan saat latihan mengenakan jilbab. Teringat kata-kata dari
majalah yang kubaca “Jilbab adalah pelindung diri. Kau tak perlu takut orang
lain berbuat iseng karena jilbab akan melindungi dirimu.” Zaman itu dapat dihitung dengan jari orang
yang memakai jilbab termasuk disekolahku yang hanya berapa biji. Saat itulah, pupuslah dan terhapus cita-cita
jadi polisi wanita atau tentara wanita. Hidupku berubah seratus delapan puluh
derajat.
Ya,
hari itu aku belajar satu hal bawah recana tuhan begitu indah. Tuhan memberikan
keraguan terhadap sesuatu, karena tuhan tengah mempersiapkan hal lain, pada
waktunya akan ada jawaban dan saat itu hanya satu kata yang bisa kau ucapkan “Tuhan
Maha Baik”. Andai aku tetap menuruti hawa nafsu dan menuruti permintaan
keluarga saat itu, hanya demi terlihat keren di mata lingkungan, yang mengagap anak sekolah di militer “sesuatu” seperti kata
syahrini. Terus mengabaikan keraguan dari suara hati, apa mungkin hidayah
itu akan datang menyapa dan aku bisa
mengenakan jilbab seperti saaat ini. Hidayah itu sangat mahal. Aku sangat
bersyukur tidak jadi sekolah pelayaran, padahal seluruh keluarga begitu mesuport
dan kakak sepupu juga begitu mendukung, sampai mau membantu mencari chanel,
biar setelah tamat bisa langsung kerja.
Baik menurut kita dan oranglain, belum tentu terbaik menurut tuhan. Tuhan maha
tahu segala sesuatu. Boleh jadi dari padangan mata, itu sebuah kenikmatan. Tapi di mata Allah menjadi ladang musibah dan kemurkaan, karena tuhan tak
pernah salah. Bila keraguan itu bersemai didadamu, maka serahkan jawaban kepada
tuhan. Jawaban dari tuhan itulah yang terbaik. Tuhan tak pernah salah memberi jawaban. Apa
mungkin aku bisa bekerja dengan baik bila tidak satu jiwa dengan sebuah
pekerjaan. Yang adalah perasaan tertekan dan tersiksa. (Tulisan tidak memadang
bahwa tugas polisi atau tentara atau yang berkaitan dengan militer itu tidak
baik. Bagi saya itu salah satu pekerjaan yang keren. Tapi saya tidak memiliki
jiwa untuk menekuni profesi tersebut.).