Isnin, 8 Mei 2017

Area Abu-Abu Tiga



Setelah pertemuan tak sengaja sore itu dengan Meong. Setelah lama tidak bertemu dan bersua. Lebih tepatnya aku mulai sibuk membangun mimpi-mimpi kembali. Telah berjanji untuk menutup mata, telinga, atau mulut terhadap segala sesuatu yang terjadi.
 “Apa kabar meong?” sapa kancil sambil menjabat tangannya. Ada kerinduan yang seketika menyeruak. Rindu kehangatan yang sempat terjalin, ketulusan dan saling bahu-bahu. Tanpa embel-embel yang lain.
Kami terlibat obrolan yang cukup panjang. Menanyakan segala kegiatan setelah  lama tidak berjumpa. Meong juga sama dengan kancil sedang membangun mimpi-mimpinya. Seyum merengkah tidak ada pembicaraan lain selain membahas recana-recana ke depan dan impian-impian yang akan kami gapai.
Pertemuan sore itu, bisa dibilang sebuah reuni antara kancil dan meong. Tak ada lagi bahasan tentang rumah yang terkunci atau rumah itu telah berubah bentuk.
Tapi seberapa keras kita menghapus jejak-jejak, kita tidak akan sepenuh bisa. Jejak-Jejak kaki itu tetap ada meski sekarang tinggal kenangan.  Tumbuh dan berkembang selalu ada peran orang lain. Meski terhapus hujan tapi tetap ada dalam ingatan.
Bagi kancil bersama di rumah itu atau tidak lagi. Tetap dia pernah menjadi bagian.  Entah diagap menjadi bagian penting atau tidak. Dia pernah bersama membangun pondasi sampai rumah itu berdiri kokoh.
Kancil sengaja membuat jejak-jejak tulisan ini. Sebagai alram pengingat. Setidaknya untuk diri sendiri.
Hidup itu pilihan. Masing-masing bebas memilih jalannya. Bukan.  Walau pada akhirnya kancil memilih meninggalkan. Tapi bagi kancil tak pernah ada ruang benci. Hidup itu pilihan. Setiap orang berhak memilih jalannya. Bila sekarang jalan itu berseberangan bukankah kemarin kita pernah beriringan. Walaupun berbeda, Cuma sekolah tempat belajar yang telah berpindah. Sudah waktu bagi kancil untuk beranjak dan melanjutkan perjalanan.

Area Abu-Abu 2




Kancil memutuskan menepi, menjauh ke atas bukit. Memadangi rumahnya dari kejauhan. Melihat dari atas aktivitas penghuninya. Sambil menelah apa yang gerangan terjadi? Apakah pikiran yang merasuk dan beragam prasangka yangmenyelimuti itu benar adanya? Dia terus mencari jawaban. Atau diri yang salah dan terlalu egois. Dia terus mencerna dalam diam.

Setelah dikira cukup, kancil turun dari bukit. Tapi saat dia kembali. Tak menemui Panda dan Meong lagi. Ruangan yang biasa mereka bertemu telah tersegel dan terkunci. Dia mencari-cari  ke berbagai penjuru. Bertemu dengan Meong yang sedang duduk berangin-angin.

“Apa yang terjadi?”
“Ruangan itu telah  ditutup  kemarin.”
“Apa alasannya,”

Meong hanya terseyum getir, ada kekecewaan yang bersemanyam disana. Terlihat jelas meski dia berusaha menyembunyikannya.

Aku hanya terdiam. “Kembalilah kancil, “ kata Meong.” Kita bangun mimpi-mimpi yang masih tersisa. Biarlah Harimau dengan segala pemikiran dan maunya.”

“Meong aku akan berjuang habis-habis terhadap sesuatu. Tapi pada suatu titik akan menyerah. Jangan sampai kita hanya mendapatkan lelah dan tak ada hasil apa-apa kecuali kekecewaan.”

“Kau masih sama kancil, tampak begitu egois.”

“Entahlah Meong, aku selalu memiliki alasan yang kuat saat melakukan sesuatu,” jawabku lirih.

Kami tertawa bersama. Kulihat Panda dari kejauhan terseyum, seolah tak ada masalah yang terjadi. Panda, sifat berbeda dengan Aku dan meong. Lembut, halus dan lebih suka berkata Iya dan tidak daripada mengatakan dengan gamblang.

Setelah bertemu dengan meong. kancil tetap merenung dan berdiam, masih mencari-cari jawaban. Suatu pagi dia melihat ruangan yang  bersegel telah terbuka. Tapi bukan Meong dan Panda yang ada disana. Sosok misterius.

Akhirnya hal yang  menyelimuti otaknya  terjawab sudah. Meski masih menyimpan misteri. Kancil tak ingin terlalu banyak berpikir lagi. Begitupun dengan Meong yang mungkin merasa begitu  kecewa “Aku ingin menutaskan tugas terakhir, baru benar=benar merenung dalam hening,” kata Meong kepada  Kancil yang telah lebih dulu beranjak.

“Mungkin saat ini kita butuh sama-sama merenung,”  suara Meong masih terdengar.

Area Abu-Abu



Ada sebuah  rumah yang dibangun atas dasar ketulusan. Hati- hati penghuni di dalam terikat satu sama lain. Saling bahu membahu, tak ada yang merasa lebih baik. Kehangatan tercipta seperti matahari yang menyapa bumi. Berpadu dalam satu asa dan tujuan. Meski percikan-percikan kecil tak jarang terjadi, menjadi warna dan penguat yang malah semakin mengkokohkan pondasi rumah itu. Saat semen pondasi itu diaduk. Si Kancil berkata kepada tiga orang temannya. Aku akan tetap berada di rumah ini dan membesarkannya. Berdiri di belakang kalian, bila visi itu tetap ada. Tapi bila visi itu telah berbelok maka aku orang pertama yang akan pergi. Kata-kata kancil itu masih tersimpan dalam bentuk tulisan, di semen yang teraduk yang menjadi bahan pondasi.
                Rumah yang dibangun telah berbentuk, tinggal  mempoles dengan cat. Kancil tak tahu tepatnya kapan. Iya kapan, saat dia menyadari. Pondasi itu tak lagi berbahan dasar ketulusan. Tapi telah berisi beragam kepentingan dan kepentingan dari berbagai sudut dan penghuni. Dia tak bisa membedakan mana ketulusan mana kepentingan . Ruas kepala dipenuhi oleh beragam prasangka dan prasangka.  Benar kata keduaorangtua yang telah tenang di langit “Ada sesuatu yang bisa mengoyahkan  dan merobohkan bangunan yaitu kepentingan.”