Ahad, 31 Julai 2016

SEPOTONG KISAH : TAK ADA RUANG BENCI, TAPI RUANG MENEPI DEMI SEBUAH MIMPI





           
 Perjalanan kehidupan tak selalu berisi tawa, canda dan kebahagiaan, tapi warna-warni akan menghiasi  silih berganti, suka dan duka.  Apapun yang terjadi dengan kehidupan, jangan biarkan ada ruang benci yang bersemayam. Ruang benci hanya akan merusak mimpi-mimpi yang terbangun. Biarlah semua mengedap  karena sudah menjadi jalan cerita dari tuhan. Bila daun yang jatuh saja, sudah menjadi kehendak tuhan. Bagitu juga hal yang tidak mengenakkan, itu bagian dari recana tuhan. Bisa jadi merupakan bagian doa yang terjawab, dari lantunan sujudmu. Ada yang engkau pinta, lalu tuhan mengujimu,  sebelum Dia  memberikannya. Yakinlah, setelah segala hal yang menyakitkan, akan selalu ada hadiah indah yang tengah menanti.
            Untuk segala ujian, jangan sediakan ruang benci di hati, tapi siapkan ruang menepi. Bisa menjadi wadah mendekatkan diri dengan tuhan, sekaligus menjadi wadah intropeksi diri. Lalu, bukalah  mata untuk begerak menuju mimpi dan tujuan hidup. Yakinlah, bila langkahmu  pada jalan kebaikan, tuhan akan mempertemukan dengan langkah-langkah yang lain.
            Jangan ada ruang benci, karena segala hal yang pahit  bisa menjadi obat. Segala hal yang menyakitkan bisa jadi menjadi penguat. Segala hal yang menyesakkan bisa menjadi ruang baru untuk oksigen masuk. Teruslah memperbaiki diri, jangan berhenti berbuat baik dan jadilah diri sendiri.  Salah satu jalan terbaik adalah menepi, bukan membenci.

Sabtu, 30 Julai 2016

SEPOTONG KISAH : ANDAI AKU JADI SEKOLAH PELAYARAN, APAKAH HIDAYAH ITU AKAN MENYAPA ?



           

 Telahir di kampung yang termasuk kategori terpecil dan tertinggal, disana aku tumbuh dan dibesarkan. Hutan yang menghijau dan sawah  membentang, selalu memberi oksigen yang menyejukan, beserta aneka buah yang selalu ada setiap musimnya. Dari sanalah sebuah mimpi itu tersemai.
            Di tanah kelahiranku, ada sebuah kebanggaan tersendiri bila anaknya menjadi seorang anggota militer, mungkin karena nenek moyang memiliki aliran darah pejuang. Kami sering mendengar cerita nenek dan kakek  tentang zaman pejajahan. Maka tak heran, tak hanya saya,  sebagian besar pemuda dan pemudi di kampung rata-rata bercita-cita tentara, polisi atau sekolah berkaitan dengan militer. Kedua orangtua dan keluarga sangat mendukung cita-citaku, apalagi gayaku yang tomboy dan suka  main di hutan. Aku mengikuti berbagai hal yang menujang seperti meraton pagi-pagi, minum susu peninggi badan ( walaupun badan tetap ngak tinggi) dan mengikuti karate.
            Selepas SMP, aku memiliki acang-acang untuk sekolah di pelayaran mengikuti jejak kakak sepupu. Apalagi kecil harapan untuk masuk Sma Negeri karena  tidak pernah dapat rangking. Sejujurnya terbersit sebuah keraguan, seperti dua sisi hati. Satu sisi menginginkan untuk sekolah disana, satu sisi lagi ada keraguan. Saat itu yang terbayang dibenak, andai benar aku sekolah militer. Apa mungkin bisa menjalani kehidupan yang  keras, seperti cerita kakak sepupu. Disana hal yang paling utama adalah otot dan senioritas tinggi. Bila tidak kuat mental bisa sakit dan tahan diri dengan perlakuan yang diluar naluri. Lama aku terdiam, fisikku memang kuat. Tak akan  mengeluh kena angin, panas, kehujanan karena sudah menjadi mainan sejak kecil. Tapi harus berlaku keras dan tegaan, rasanya bukan jiwaku. Sedangkan melihat, sapi atau ayam dipotong saja aku tidak sanggup. Kalau sekolah militer, harus memiliki jiwa tegaan dan terkadang berkaitan dengan kekerasan, main pukul dan fisik.
 Tuhan berkata lain, keraguanku terjawab, nilaiku mencukupi untuk masuk Sma Negeri yang ada dikota. Kecil peluangku mengambil SMK pelayaran dikota Palembang dan keluarga tidak begitu menggebu-gebu lagi. Sebenarnya dari kelas tiga smp mulai suka membaca buku dan majalah. Ada terbersit keinginan mengenakan jilbab, efek sering baca majalah annida. Dari sanalah kalau membeli pakaian yang lengan pajang. Hingga hidayah itu menyapa, tepat dikelas dua SMA. Aku resmi mengenakan jilbab. Keluarga dan orang-orang sekitar sempat meragukan, keputusan dan kemantapan hati untuk menutup aurat. Hari itu aku memutuskan untuk tidak ikut karate lagi, apalagi saat itu mentor atau guru tidak membolehkan saat latihan mengenakan jilbab. Teringat kata-kata dari majalah yang kubaca “Jilbab adalah pelindung diri. Kau tak perlu takut orang lain berbuat iseng karena jilbab akan melindungi dirimu.”  Zaman itu dapat dihitung dengan jari orang yang memakai jilbab termasuk disekolahku yang hanya berapa biji.  Saat itulah, pupuslah dan terhapus cita-cita jadi polisi wanita atau tentara wanita. Hidupku berubah seratus delapan puluh derajat.
Ya, hari itu aku belajar satu hal bawah recana tuhan begitu indah. Tuhan memberikan keraguan terhadap sesuatu, karena tuhan tengah mempersiapkan hal lain, pada waktunya akan ada jawaban dan saat itu hanya satu kata yang bisa kau ucapkan “Tuhan Maha Baik”. Andai aku tetap menuruti hawa nafsu dan menuruti permintaan keluarga saat itu, hanya demi terlihat keren di mata lingkungan, yang mengagap anak  sekolah di militer “sesuatu” seperti kata syahrini.  Terus mengabaikan  keraguan dari suara hati, apa mungkin hidayah itu akan datang menyapa dan aku  bisa mengenakan jilbab seperti saaat ini. Hidayah itu sangat mahal. Aku sangat bersyukur tidak jadi sekolah pelayaran, padahal seluruh keluarga begitu mesuport dan kakak sepupu juga begitu mendukung, sampai mau membantu mencari chanel, biar setelah tamat  bisa langsung kerja. Baik menurut kita dan oranglain, belum tentu terbaik menurut tuhan. Tuhan maha tahu segala sesuatu. Boleh jadi dari padangan mata, itu sebuah kenikmatan. Tapi  di mata Allah menjadi ladang musibah dan kemurkaan, karena tuhan tak pernah salah. Bila keraguan itu bersemai didadamu, maka serahkan jawaban kepada tuhan. Jawaban dari tuhan itulah yang terbaik.  Tuhan tak pernah salah memberi jawaban. Apa mungkin aku bisa bekerja dengan baik bila tidak satu jiwa dengan sebuah pekerjaan. Yang adalah perasaan tertekan dan tersiksa. (Tulisan tidak memadang bahwa tugas polisi atau tentara atau yang berkaitan dengan militer itu tidak baik. Bagi saya itu salah satu pekerjaan yang keren. Tapi saya tidak memiliki jiwa untuk menekuni profesi tersebut.).

Khamis, 28 Julai 2016

SEPOTONG KISAH : SETAPAK DEMI SETAPAK PERJALANAN DARI SEBUAH MIMPI




Lagi-lagi yang dibahas tentang mimpi, memang ngak ada bahasan lain. Biarlah tema blog bulan ini tentang mimpi. Ya mimpi. Hidup tanpa  mimpi bagai robot. Hidup tak tahu arah dan tujuan. Selagi masih ada mimpi tak ada yang perlu ditakutkan. Dengan mimpi kau bisa berjalan tanpa harus tersesat.
            Meraih mimpi harus melewati setapak demi setapak perjalanan. Untuk sampai pada tujuan kau harus melalui berbagai rintangan. Rintangan tebesar dalam hidup bukan lingkungan, bukan pula orang lain. Tapi mengendalikan diri sendiri untuk tetap fokus dengan tujuan. Memiliki sebuah ketahan diri itu sangatlah penting.
            Setapak demi setapak perjalanan dari sebuah mimpi, sama seperti melewati jalanan, pasti akan menemukan lubang, belokan, tanjakan dan lain sebagainya, sebelum sampai pada sebuah tujuan. Saat engkau lelah maka harus beristirahat. Memejamkan mata, mengembalikan energi sebelum perjalanan itu dilanjutkan. Kau tak boleh menyerah pada suatu titik, karena itu bearti kekalahan. Kau boleh gagal, tapi  tak boleh berhenti berusaha. Kau boleh lelah tapi  tak boleh berhenti begerak.
            Setapak demi setapak perjalanan dari sebuah mimpi, tak berisi tawa dan gurauan yang membahagiakan, tapi sebuah perjuangan yang disertai tetesan keringat dan airmata. Itulah bukan hura-hura, yang memciptakan tawa yang membahana, tapi sebuah harapan untuk melukis seyum dan membuat orang-orang yang meyayangi kita bangga padamu.

Rabu, 27 Julai 2016

Sepotong Kisah : Tak Perlu Kuliah Di Jurusan Sastra Untuk Menjadi Penulis, Ternyata Yang Dikatakan Ibu Itu Benar


            Dulu pengen banget, kalau lulus SMA mau  kuliah mengambil jurusan sastra, berapa kali mengutarakan niat kepada kedua orangtua. Tapi orangtua memberi padangan, kalau perempuan sebaiknya  kuliah  yang dikejuruan seperti kesehatan atau pendidikan. Biar mudah cari kerja, kalau kerjanya  tidak terlalu diposir. Coba kalau penulis, bayangkan, kesana-kesini untuk mencari data. Tetap bersikeras, karena sudah kadung pengen dan menjadi cita-cita dari sejak kecil. Tapi doa orangtua sangat mambrur, aku tidak lulus seleksi masuk peguruan tinggi negeri untuk  jurusan sastra.
`           Setelah berbagai pertimbangan dan diskusi, aku menyetujui saran orangtua untuk mengambil jurusan perawat. Jadilah kuliah disana, sambil memupus mimpi untuk kuliah di jurusan sastra.  Awalnya lumaya berat tapi berusaha menjalani dan menyukai bidang yang telah dipilih dengan sepenuh hati. Di tingkat dua sekolah keperawatan, aku menyadari satu hal, saat membaca buku sang pemimpi dan laskar pelanggi punyanya Andrea hirata. Bahwa hidup harus memiliki mimpi-mimpi, tak ada yang tak mungkin didunia ini. Siapapun kamu, apapun latar belakangmu, dari meski tak memiliki IQ yang tinggi, kau memiliki hak untuk bermimpi.
            Semangat menulis kembali tumbuh, semakin rajin mengujungi perpustakaan dan toko buku. Mimpi untuk menjadi penulis tumbuh kembali. Akupun menyadari satu hal, bahwa untuk menjadi penulis tak perlu kuliah di jurusan sastra. Banyak penulis-penulis hebat yang tak memiliki basic sastra. Siapapun bisa menjadi penulis, tapi seberapa besar dia mau berusaha dan bertekad. Menulis itu ya tinggal menulis, tapi menulis yang berkualitas, menginspirasi dan bisa terbit di penerbit mayor serta disukai masyarakat itulah yang butuh perjuangan.
            Ternyata apa yang dikatakan ibu itu benar,apa yang disarankan ayah tidak salah. Aku tak pernah menyesali, karena tidak jadi kuliah di jurusan sastra, malahan bersyukur mengambil jurusan berbeda. Itu akan menambah wawasan dan pengetahuan tentang suatu bidang. Menulis itu  membutuhkan banyak wawasan, agar tulisan semakin berisi dan bermakna. Itu semua baru aku sadari, setelah bertahun-tahun lulus kuliah. Disaat aku memutuskan untuk benar-benar ingin menjadi seorang penulis. Lebih tepatnya dua tahun yang lalu. Perawat tetaplah profesi yang kupilih untuk mencari rejeki, tapi menulis adalah sebuah hoby yang ingin aku tekuni sampai akhir usia atau menutup mata.


Selasa, 26 Julai 2016

SEPOTONG KISAH : MIMPI-MIMPI YANG TERBANGUN




Mimpi-mimpi yang terbangun. Membangun mimpi itu butuh perjuangan, begitu kata orang bijak. Tak bisa hanya mengucapkan mantra langsung jadi. Untuk  sepotong roti yang terhidang hangat di atas meja dan menjadi santapan. Ada proses pengolahan  bahan-bahan, lalu meracik dan membentuknya. Sebelum itu, ada proses dipagang atau di oven dalam suhu tertentu.
            Pondasi sebuah mimpi adalah diri sendiri. Lalu untuk mewujudkan kau harus konsisten dan membiasakan diri untuk berlatih. Teringat saat dahulu belajar memasak, awal-awal bikin pempek, keras, kenyal, dan sering mentah didalam, gosong diluar. Setelah berkali-kali mencoba akhirnya berhasil juga. Bisa membuat pempek dengan takaran yang pas, tidak keras, plus menemukan resep sendiri untuk membuat cuka. Itulah sebuah proses, sekali mencoba pasti hasilnya tak akan sempurna dan bisa dibilang gagal. Perlu berkali-kali agar hasilnya bagus dan sukses.  Jangan pernah sekalipun  berhenti berusaha, berjuang dan berdoa. Teringat kata orang bijak bahwa “Tak ada kesuksesan yang tidak dimulai dari langkah pertama, tak ada kata sukses sebelum diawali oleh kata gagal.” “Bila kita berhenti pada suatu titik, kita tidak pernah tahu mungkin itulah titik terakhir untuk kata gagal, tapi dititik selanjutnya kau tak pernah tahu apa yang tuhan siapkan.”
            Mimpi-mimpi yang terbangun harus melewati jatuh bangun untuk mewujudkan.Jatuh lagi, bangun lagi, jatuh lagi, bangun lagi, jatuh lagi, bangun lagi, sampai kata jatuh itu lelah mengikuti. Pada akhirnya bisa tegak berdiri. Layak seorang anak yang lagi belajar merangkak mau berdiri dan lalu bisa belari serta mandiri.