Khamis, 28 September 2017

Catatan Usang : Mimpi Yang Sederhana




Mimpi ini sangat sederhana tak muluk-muluk.  Setiap kali teman, sahabat, keluarga, emak dan bapat dan orang- orang terdekat bertanya. Kamu nggak mau lanjut lagi sekolah? Sayang ? Mumpung lho. Tapi aku menggelengkan kepala tidak. Bukan aku tidak mau menimbah ilmu kembali di bangku kuliah atau mungkin semangat itu luntur. Tidak.  Tujuanku sekolah bukan untuk meraih posisi atau jabatan tertentu.
                Iya, aku bahagia menjadi staf biasa. Tanpa beban kerja dan  tagung jawab. Hanya sebentuk pengabdian. Pengabadian dari ilmu yang telah didapat di bangku sekolah. Setidak  tidak sia-sia. Bisa bermanfaat.  Lalu aku bisa focus menekuni bidang yang menjadi hoby. Berapa kali sempat diberi amanah  dan aku menolak. Menyenangkan bila menjadi orang biasa. Tak punya beban kerja yang berat dengan seabarek tagung jawab dipundak. Dan ada satu impian lain yaitu menjadi ibu yang baik.
                Masing-masing orang tertentu punya impian. Impian sendiri. Dan sekali lagi kukatakan tidak ada yang salah dengan sebuah impian. Bila ditanya apa impianmu. Mimpiku sangat sederhana  menjadi ibu yang baik, anak yang berbakti, bekerja paruh waktu,  menjadi staf biasa memperdayakan ilmu yang didapat di bangku sekolah. Lalu menekuni hoby yang disenangi. Menghabiskan waktu dengan senja sambil membaca buku. Sederhana bukan.
                Aku tak bermimpi menjadi seorang pejabat, duduk di kursi panas dan lain sebagainya. Setiap orang memiliki mimpi masing-masing.  Setiap kali pertanyaan. Ayo kuliah dilanjutkan. Aku hanya bisa terseyum tipis. Berada diposisi sekarang sudah lebih dari cukup bagiku.
               

Rabu, 27 September 2017

SEPOTONG KISAH : SEKOTAK KUE SIANG INI




Ini bukan kali pertama keluarga pasien memberikan sesuatu. Seperti siang ini, sekontak kue.
                “Ini buat Suster?”  ibu menyodorkan kantong plastik yang berisi kontak.
                “Apa ini, Buk?” selaku
                “Makanan untuk suster,”  sela terseyum.
                “Nggak usah repot-repot, Buk. Aku jadi tidak enak, kalau diberi beginian.”
                “Itu sebagai ucapan terimakasih karena suster sudah baik.”
                “Makasih, Buk. Sekali lagi nggak usah kasih-kasih beginian,”
                Itulah sekelumit peristiwa siang ini di poli. Bukan hanya sekali atau dua kali, pasien memberikan sesuatu. Pernah dibawahin pisang, buah kendodong, nanas, gula, biscuit, peyek, bahkan ada yang tiba-tiba. Mang bakso datang ke poli membawa bakso dan es buah. Padahal tidak pesan. Terkadang, merasa tidak enak hati.
                Pernah juga, ada berapa pasien yang menyelipkan uang. Iya uang lembaran 50 ribu. Tapi aku dengan tegas menolak dan mengatakan bahwa itu sudah menjadi pekerjaan. “Doakan, saja Buk. Tak perlu kasih apa-apa,” itu kalimat yang kulontarkan.
                Pasien-pasien yang rutin setiap bulan harus kontrol. Menjadikan keakraban sendiri. Sudah hapal dengan mereka serta penyakitnya. Terjalin sedikit ikatan.
                Apalagi, saat mendengar kabar bahwa pasien yang kontrol rutin menghadap Tuhan. Tanpa sadar kadang suka menitikan airmata.  Seperti berapa waktu yang lalu. Tanpa sengaja bertemu dengan bapak yang sering mengantar istrinya kontrol.  Aku langsung bertanya, kenapa sudah lama tidak kelihatan kontrol?  Apa kabar ibunya?
                “Sus, ibu sudah meninggal,” kata bapak itu berkaca-kaca.
                “Kapan? selaku kaget. Menutup mulut dengan tangan.
                “Sebulan yang lalu Sus, sempat dibawah ke IGD dan dirawat semalam. Tapi tidak tertolong.”
                Seketika terbayang-bayang dip elupuk mata wajah ibu itu. Dadaku seketika berdetak, tak bisa kubendung airmata. Lantunan doapun terpanjat. Dia sudah bahagia di langit sana bersama sang pencipta.
                Menjadi seorang perawat itu menyenangkan. Iya menyenangkan bisa berintraksi dengan banyak orang. Bisa berbagi motivasi dan semangat.
                Menjadi seorang perawat itu menyenangkan. Saat mereka berkata “Aku sudah baikan, suster.” Lalu kami tertawa bersama.
                Menjadi seorang perawat itu menyenangkan. Bagaimana melatih kesabaran.

Rabu, 6 September 2017

Aku Bersama Tere Leye




Siapa yang tidak kenal dengan Tere leye. Penulis ternama yang semua karyanya megabest seller. Bahkan angin burung yang kudengar bahwa untuk satu novel bisa meraup untung ratusan juta bahkan mencapai satu  milyar. Itu tentu penghasilan diluar  seminar, kontrak film dan lain-lain.
                Kemarin saat mendengar kabar bahwa beliau memutuskan untuk tidak mencetak buku lagi. Tertarik untuk mencari info dan kebenarannya. Benar adanya. Isu ini sudah lama terhembus. Dan aku baru tahu kemarin. Pas lagi heboh-heboh dan hangat-hangatnya. (Maklum aku salah satu penggemar novel tere leye. Sudah menjadi pengikut fansfage sejak fansfage tere leye masih ribuan jumlahnya. Tujuh tahun silam. Salah satu orang yang sedih saat nggak bisa menikmati karya beliau dalam versi cetak.)
                Sebagian orang ada yang mengatakan “Ah! Ini sekedar sensasi.” Tapi entahlah, aku tak percaya itu, Bang tere leye melakukan ini untuk sebuah sensansi atau biar buku bisa lebih terjual mahal. Untuk apa toh? Bukan buku yang lahir dari jemari beliau selalu mendapatkan sematan mega best seller.
                Pernah aku bertanya dalam hati. Kenapa bang tere leye bisa menjadi penulis terkenal? Padahal dia cuma punya fansfage. Ternyata satu jawabannya. Dia menulis dengan hati. Dia menulis bukan untuk tenar atau terkenal. (Terkadang  menampar diri sendiri)
                Tuhan tak pernah salah pilih. Benar adanya. Bang tere leye yang diam-diam menyedekah hampir sebagian besar royalati.  Tak pernah terekpos ke public. Memilih hidup senderhana. Tetap bekerja meski sebenarnya hasil royalati sudah mampu mencukupi hidupnya.
                Lalu kalau ada undang di balik batu atas tindakan beliau menghentikan menerbitkan buku. Itu pendapat yang terlalu mentah dan tak berdasar.  Apalagi pemberhentian karya beliau hanya sebuah  sensansi.
                Menurutku apa yang beliau lakukan merupakan bentuk protes. Iya protes kepada pemerintah. Lalu yang jadi pertanyaan. Kenapa harus beliau?  Kalau pendapatku karena dia salah satu penulis ternama Indonesia. Setidaknya suaranya akan mudah d dengar oleh pengambil kebijakan. Dibandingkan saya  (misalnya) yang belum ada apa-apa. Mau berteriak pakai toak nggak ada yang peduli. Lihatlah saat bang tere leye yang melakukan aksi protes. Lihat isu terangkat kepermukaan. Padahal isu pajak  yang mahal sudah dari dulu. Biasa isu ini akan mencuat saat hari buku dunia. Tapi esoknya isu akan meredup.
#Akubersamatereleye