Novel ini berkisah tentang pendakian ke puncak Rengganis. Delapan orang pemuda
bernama Fathur, Dewo, Dimas, Nisa, Sonia, Acil, Ajeng, Rafli. Pendakian
yang mereka lakukan tak semulus recana. Ada beragam kejadian dan peristiwa
menegangkan. Rafli tiba-tiba hilang sampai akhirnya ditemukan di tepi danau
tergeletak tak sadarkan diri, hingga akhirnya pendakian dipercepat karena
berapa alasaan, termasuk stok makanan yang menepis. Meski ada kejadian mistis
tak menyurutkan langkah mereka untuk menatap keindahan alam dari ciptaan tuhan.
Membaca novel ini saya merasakan seperti ikut
bertualang bersama mereka, dan merasakan keindaham yang ada disana. Burung merak,
rusa dan matahari terbit. Jadi ingin rasanya melakukan pendakian Awalnya saya mengira, saat Sonia merasa ada yang aneh dan ingin pulang ke basecamp menemui Acil yang sendirian, berpikir ada kekuatan mistis akan terjadi,
tapi salah duga ternyata hanya babi
hutan yang sedang di lawan oleh Acil. Disinilah letak bahwa penulis begitu
lihai mengaduk pikiran pembaca sehingga bisa salah tebak. Cerita yang disajikan seakan nyata dan detail diterima oleh akal pikiran bukan hanya
sekedar imjenasi. Penulis berhasil membawa pembaca terhayut kedalam cerita turut
merasakan keindahan yang ada disana..
“Sungai
Cikasur adalah salah satu kesederhanan yang indah di bumi Argopuro. Sebuah
sungai kecil beralur panjang dan sempit dengan airnya yang bersih dan jernih
serta mengalir cukup deras. Suara gemuruh yang diciptakan oleh aliran air
sungai entah mengapa jadi terdengar begitu merdu di telingga. Banyak tumbuhan
selada air di sungai itu selalu dimanfaatkan pendaki untuk dimasak sebagai
sayuran hangat. Tepian kiri dan kanan sungai di penuhi rerimbunan rumput tebal
bernuasa hijau dan campuran antara putih dan coklat. Sungguh eksotik.
“Bunga-bunga kecil berwarna putih memang telah
bermunculan di jalur yang dilewati tim. Batang-batangnya tumbuh berserak, dan
rerimbunan hijau daunnya mewarnai kegembiraan di siang hari itu. Tak ada lagi
nuasa kering serupa musim gugur seperti sebelumnya. Tapi, ya, bunga-bunga
edelwis itu baru separo mekar.” (Hal, 73)
“Kepala,
puncak rengganis memang bukanlah berupa tanah hutan, akan tetapi berupa gunung
kapur yang berbatu-batu. Dan meskipun sudah dekat sekali, tapi meninti jalur
naik ke puncak tentunya membutuhkan kehati-hatian yang khusus, terutama jika
kondisi hanya dibantu oleh penerangan senter, head lamp, dan bintang saja yang masih menyisa di langit.(hal, 97)
“Iya,
orang-orang itu sangat memprihatikan. Mereka mendaki karena mengaku mencintai
alam. Tapi mereka sendiri yang mengkhianti cinta itu. Sesungguhnya bukan alam
yang mereka cintai, tapi diri mereka sendiri.” (Hal, 113)
1 ulasan:
Makasih yaa reviewnya :)
Baca juga unek2 saya di review Rengganis di sini: http://azzura-dayana.blogspot.co.id/2016/01/menjawab-rengganis.html
Catat Ulasan