LGBT akhir-akhir ini menjadi isu yag
santer terdengar, begitu hangat menjadi sebuah perbincangan. Siapapun ikut
terhayut didalamnya tanpa pengkecualian. Beragam ekspersipun ditunjukan dari
yang pro dan kontra. Di media sosial, televisi sampai warung kopi, menjadi topik
utama. Kenapa LGBT ini sedemikian menjadi sorotan ? Kalau kasus si Anida pengundang
maut. Saya tak pernah mengambil bagian, isu BBM naik, isu pemerintahan lagi
carut marut atau lain sebaginya, cukup hanya menjadi penonton dan penikmat saja.
Berbeda cerita saat kasus LGBT ini mencuat kepermukaan. Desiran kerisauan dan
kekhawatiran merasuk dalam kehidupan. Entah kenapa? Apalagi isu tentang LGBT akan diakui di negeri sempat
santer terdengar. Media social ikut ambil bagian mengkampanyekan, dengan HAM begitu
gentol membela, serta stiker-stiker tentang LGBT terus bertebaran. Mendorong
rasa keingintahuan apa gerangan yang sedang terjadi?
LGBT sungguh menyedot perhatian terutam
saya masyarakat awam, ini isu yang
meresahkan. Tak sedikit ibu yang was-was
anaknya keluar rumah, kegundahan seorang ibu itu wajar adanya. Bukan lebay,
kawan. Dengan kampanye LGBT begitu
gencar dari berbagai lini. Tak perlu kita menutup mata atapun pura-pura tidak
tahu. Saya sama sekali tak mempedulikan jalan hidup orang lain yang ingin
menjadi LGBT. Tapi yang saya risuakan penyebaran LGBT yang tak terbendung. Saya
hidup di negeri Indonesia, yang dibesarkan dengan lingkup norma dan aturan yang tertata dan dinamis. Ragapun ikut teriris
dan miris. Bila sekarang LGBT sudah
terang-terangan. Bagaimana nanti dengan
anak cucu saya. Kemajuan teknologi membuka cakrawala, dan pintu, sedangkan saya tak cukup bekal
untuk mempersiapkan benteng yang kuat. Mungkin , sama yang dirisaukan sebagian ibu dan masyarakat di Indonesia ini.
Tak
hanya saya sebagai masyarakat biasa, orang ternama ikut mengambil bagian berkomentar,
memberikan pendapat akan kekhawtiran mereka. Tapi sayang usaha mereka seakan
dicekal, kebebasan berpendapat seakan dibatasi. Kerisauhan hati seakan harus
dikunci dan pemikiran itu harus ditutup. Pemahaman modernisasi tanpa sebuah
penghakiman dengan kunci penerimaan tanpa sebuah penyaringan dari akal sehat.
Lalu, tanya muncul dalam hati. Para petinggi dan orang ternama serta terkaya di
dunia, dengan terang-terangan mendukung LBGT, tapi mereka tetap adem ayem tanpa
guncangan dan pencekalan. Berbeda cerita dengan seorang pentinju tenama yang
mengungkapkan pendapat, lalu diputus kontrak kerja, karena pendapat yang
bertolak belakang dengan mereka pengantut paham LGBT. Masih banyak lagi
kejadian-kejadian yang menyudutkan. Petinggi negara digoyang hanya kerena dia
berpendapat tentang LGBT.
Itulah
kenapa saya tak pernah bisa menutup mata tentang LBGT dan terus ingin
mengluarkan suara. Bukan permasalahan pilihan hidup seseorang orang jadi persoalan
tapi, penyebaran yang secara tidak langsung mengajak dan menuntut sebuah
pemahaman, untuk kami memberikan pengertian
akan pilihan mereka. Bila orang lain ingin memilih minum keras padahal minum keras
membahayakan, memilih narkoba padahal bisa mematikan, memilih merokok padahal
bisa menyababkan kanker paru. Itu pilihan kalian kawan, tak ada yang melarang. Tapi
ingat, jangan tuntut kami memahami dan mengerti akan pilihan tersebut. Sudut
padang kita jelas berbeda, tak bisa disamakan.
Bila ingin memilih jalan itu silahkan, tapi cukuplah dirimu. Tak usah
bersuara dengan lantang, apalagi berbagi-bagi serta mengajak. Itulah yang
meresahkan, Kami mungkin tak akan tergoda, tapi bagaimana generasi selanjutnya.
Itulah yang menjadi khawatiran kami. Bukan soal apa-apa. Berharap kalian
pembela LGBT memahani pemikiran kami yang gencar mencegah LGBT menyebar. Kami hanyalah
masyarakat yang resah akan isu LGBT dan penyebarannya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan