Sabtu, 30 Januari 2016

Sepotong Rindu di Kereta Api Kelas Ekonomi



Berapa tahun yang lalu, menggunakan transportasi Kereta Api kelas ekonomi menjadi rutinitas tiap minggu. Saat menjalani kuliah dan harus pulang pergi Baturaja-Palembang.  Awalnya naik kereta itu sekedar iseng dan untuk menghemat biar bisa beli buku. Pada akhirnya malah ketagihan dan menjadi transportasi favorite. Ada berapa alasan yang mendasar yaitu ongkosnya sangat terjangkau dan suatu yang unik  tidak ditemui di travel ataupun di bus. Bapak sama emak sempat marah ketika mengetahui aku naik kereta bukan travel.
“Kereta itu rawan ! banyak copet ! kamu itu gadis ! Kalau ada apa-apa di jalan siapa yang nolong kamu, mana ngak ada teman lagi !” Kata emak sama bapak.
Mencoba menjelaskan pada mereka bahwa kereta itu aman dan banyak orang disana. Tapi tetap saja kedua orangtua khawatir. Mereka malah menambah uang saku untuk ongkos kuliah biar bisa naik travel. Tetap saja, aku diam-diam naik kereta api. Pada akhirnya kedua orangtua menyetujui setelah melihat berapa bulan dan tampak aman terkendali, anaknya begitu enjoy. Jadilah rutinitas naik kereta itu kulakoni. Lumayan banget kalau ongkos naik travel 40 ribu dan ongkos kereta 10 ribu, waktu itu. Sisanya buat beli buku bacaan  atau keperluan  kuliah. Rasanya tak tega bila harus meminta bila ada kebutuhan yang tidak terlalu urgent selain biaya kuliah, termasuk membeli buku bacaan yang tidak ditemui di perpustakaan.
Selain ongkos sangat bersahabat, ada keunikan yang menarik hatiku disana yaitu setiap stasiun pemberhentian kereta, maka para pedagang yang mengkais rejeki naik keatas menawarkan pada kami para penumpang. Setiap stasiun memiliki ciri khasnya masing-masing, bila stasiun Baturaja terkenal dengan peyek kacang, maka stasiun Penijauan terkenal dengan buah sawo, stasiun Prabumulih terkenal dengan lemper ketan. Masing-masing stasiun punya makan spesialnya. Menjadi daya tarik tersendiri.
Perjalananpun tidak begitu menjemukan karena satu bangku berisi 2-3 orang dengan bangku yang saling berhadapan. Selalu ada cerita disetiap penumpang yang kutemui,  mengobrol kesana-kesini, hendak kemana dan apa tujuannya. Suasana seperti begini tak ditemui saat naik travel yang sepanjang jalan memasang headseat dan terlelap dalam kantuk. Rasa persaudaran yang terbilang kental. Bila ada yang turun duluan maka akan saling berpamitan mengucapkan salam.
Selain itu, disana aku belajar arti sebuah rasa syukur, menatap remaja tagung yang membawa keranjangan menjajahkan makanan, ibu-ibu lanjut usia tak kalah semangat menawarkan makanan ringan, bapak-bapak penjual pop mei, harga yang mereka tawarkan cukup bersahabat dikantong. Harga pop mei 5 ribu rupiah yang telah diseduh air hangat. Minuman mineral dingin tiga ribuh rupiah. Ada grup pengamen jalanan yang suara cukup merdu dengan lagu andalan “Ya Saman” dengan alat music yang mereka modifikasi ada yang terbuat dari botol minuman, biasanya pengamen ini ada di stasiun prambulih. Mereka menjual suara sekaligus menghibur, dan nampak para penumpang menikmati itu, terkadang ada yang request lagu. Betapa beruntung hidupku, tanpa perlu memeras keringat, berpeluh demi kata sesuap nasi.
Meski kereta penuh dan orang-orang berjubel-jubel, merasa beruntung karena ada yang berbaik hati menyisihkan bangku untuk  duduk. Pernah pedagang pempek yang  tampak kasian melihat aku berdiri mengatakan bahwa diujung sana ada bangku kosong dan menunjuk tempatnya, memang ada tempat di gerbong paling botot. Bapak-bapak yang rela berdiri, memberikan bangku untuk di tempati.
Begitulah kisah-kisah yang kulakoni selama naik kereta, meski orang bilang kereta kelas ekonomi itu rawan dengan pencurian, dan tindak kejahatan, serta pencaloan. Begitulah nada-nada yang tersemat, meski tak begitu adanya.  Selama  bertahun-tahun  naik kereta, dua kali ketemu  peristiwa orang menangis karena HPnya hilang. Aku mengira itu karena kurang kehati-hatian dari mereka. Berapa kali melihat dengan mata kepala sendiri, saat bapak penjual minuman yang menegur seorang wanita agar hati-hati dan menunjuk kearah kantong jeansnya yang menyembul HP. Sebenarnya factor pendukung pencurian itu salah satunya karena adanya kesempatan.
Saat berpergian naik kereta aku menyelipkan dompet dibagian paling bawah baru tumpukan pakainan. Lattop saya bungkus dengan plastik (siapa tahu kehujanan dijalan) lalu dibungkus dengan pakainan, suatu waktu kalau perlu membuka tas lattopnya tidak terlihat.  Meletakan dibagian depan photo copy KTP serta sejumlah uang seadanya mudah di jangkau. Allhamdullah dua tahun melakoni naik kereta, tetap tidak ada cerita kehilangan. Termasuk pas nunggu angkot malam-malam di depan masjid agung katanya disana rawan kecopetan, tapi tidak ada kejadian atau peristiwa. Pernah sekali aku harus berjalan kaki tengah malam karena kereta anjlok sampai di stasiun kertapati jam 12 lewat, tidak ada lagi angkot ke Bukit. Jalan kaki dengan suasana hening, dan sepi, bersyukur sampai tujuan dengan selamat. Disana aku mempelajari suatu hal, bahwa niat jahat itu tercipta saat kita mengundang untuk orang melirik dan tertarik. Setiap kali naik kereta aku berusaha berpenampilan simple mungkin, mengenakan jilbab langsungan, jaket, tas ransel. Dengan mengendong tas ransel didepan dan meneteng tas map plastic berjalan santai.  Mungkin orang-orang berpikir hanya seorang mahasiswa yang pulang dari kampus, pasti tidak ada apa-apa kecuali tugas kuliah dan uang buat ongkos J
Setelah lulus kuliah dan bekerja, ada sebersit rindu untuk nostalgia naik kereta kelas ekonomi, melakoni perjalanan. Tapi kesempatan itu selalu tidak tepat. Berapa bulan silam akhirnya kesampainan juga niat tersebut, sengaja menginap semalam biar bisa pulang pagi naik kereta. Sudah berangkat pagi sekali dari kost adik. Terbayang dulu antrian pajang sampai diluar karena datangnya siang untung masih dapat tiket. Betapa kagetnya sesampai di loket pembelian tiket. Nampak tidak ada orang sama sekali. Aku bertanya pada seorang bapak, dan dia bilang bahwa sekarang tiket kereta sudah bisa beli online, tapi masih bisa beli langsung. Menunggu sekitar satu jam, sampai loket dibuka dan antrian dibelakangku cuma 4 orang. Tampak disisi kiri ada layar computer, dan orang-orang sibuk memasukan data dari tiket online yang mereka beli. Sungguh sebuah kemajuan yang mengagumkan.
Setelah membeli tiket langsung masuk kedalam, ada deret-deratan kursi dan orang-orang duduk sambil menunggu. Belum habis kekagetan  melihat berbagai perubahan kearah positif. Dulu kalau sudah beli tiket kita bisa langsung naik keatas gerbong, mencari tempat duduk. Setelah duduk, menunggu setengah jam, ada pemberitahuan dari pengeras suara, orangpun pada beranjak, aku mengikuti. Ketakjuban semakin bertambah, dengan gerbong yang bersih, menggunakan ac serta ada terminal listrik buat ngecas hp di masing-masing sudut bangku.
Perjalananpun di mulai, sama seperti yang lalu. Aku menyapa orang yang duduk dihadapanku, serta disamping. Kami saling mengobrol. Sepasang suami istru itu, hendak ke karang mengujungi anaknya. Seorang petugas memakai baju batik, dengan penampilan yang rapi menawarkan makanan dan memberi selembaran kertas, bilamana kami mau memesan. Sungguh kemajuan yang harus diacungi jempol.
Dibalik kekagetan dan kekagumanku, ada sebentik rasa rindu akan penjual asongan yang menjajahkan makanan ringan. Saat stasiun berhenti mereka akan naik keatas gerbong menawarkan kepada kami para penumpang. Tak ada lagi, suara lemper…lemper saat stasiun itu berhenti di Prambulih, peyek…peyek  saat stasiun itu berhenti di Baturaja, dan serta stasiun-stasiun lain. Yang tertinggal hanyalah keheningan. Aku bertanya dalam hati, bukankah hal yang unik dari naik kereta kelas ekonomi karena adanya mereka. Mereka para pedagang asongan yang tak di temui di travel, bis, dan kereta kelas eksutive. Para pedagang asongan yang mengenalkan sebuah cirri khas dari makan special setiap berhentinya stasiun.
Nampak di balik pagar saat kereta berhenti di stasiun Prabumulih, mereka menjerit-menjerit menawarkan jajanan yang telah di bekal dengan kantong. Hanya satu dua yang turun untuk membeli selebihnya berdiam diri karena malas mau beranjak dari tempat duduk. Mereka para penjual yang gigih tak berhenti mengkais rejeki meski pintu telah digembok dan ada larangan tertulis.  Mereka menjulurkan tangan dibalik pagar dengan kepala yang sebagian tertutup besi pagar.
Semoga suatu hari di setiap pemberhentian stasiun, aku bisa menemui mereka kembali Mereka yang menawarkan kepada kami para penumpang makanan ringan sebagai pengajal perut. Makanan ringan yang menjadi ciri khas dari setiap stasiun. Perjalanan kereta adalah  sepotong rindu di kereta kelas ekonomi. Rindu menatap mereka para pejuang kehidupan sebenarnya bisa menjadi nilai dan cirri khas bila di kemas dengan apik. Semoga suatu hari nanti mereka memiliki tempat di gerbong kereta kelas ekonomi ini. Kembali mengenalkan kepada kami tentang makanan khas dari setiap pemberhentian stasiun. Makanan khas yang kami rindu untuk menikmatinya.(ami..in)

               

Tiada ulasan: