Buku-buku di era penulis angkatan balai pustaka
seperti siti nurbaya, salah asuh, layar terkembang, bagai katak dalam tempurung,
tenggelamnya kapal Van Der WiJck. Banyak
menyoroti nilai-nilai sosial saat itu. Selepas membaca tuntas buku ini, merasa beruntung hidup di zAMAN sekarang,
bukan pada waktu masih ada Belanda yang ingin menguasai wilayah Indonesia. Saat
masyarakat masih memegang adat-istiadat diatas segala-galanya. Arti kebebasan
yang tidak bisa berbuat sesuai keinginan dan ada aturan baku yang harus ditaati
dan menjadi harga mati.
Buku
ini berkisah tentang Ramli yang berasal dari Padang terlahir dari kalangan bangsawan.
Adat padang pada saat itu, ibu-ibu akan
berbondong mencarikan anak perempuanya suami untuk dinikahkan dengan seorang
pria. Segala biaya ditagung oleh perempuan, dan laki-laki akan mendapat uang
jemputan. Semakin tinggi tingkat kepopuleran dari segi keturunan dan pendidikan
maka semakin banyak orang yang memperebutkannya dan uang jemputan akan lebih
tinggi. Laki-laki boleh, menikah sesuka hatinya dan perempuan mau tidak mau
harus siap untuk dimadu. Anak menjadi tagungan istri, suami boleh berkunjung
saat malam menjelang dan pergi saat
matahari belum nampak. Tidak boleh terlihat jalan berdua, kalaupun terpaksa harus ada jarak.
“
Suami dipandang sebagai orang asing, yang hanya harus memberi keturunan kepada
istrinya. Istri dipadang sebagai kepala keluarga, yang harus mengusai semuanya.
Anak di pandang sebagai anak mamaknya dan bapak, sebagai tamu yang harus
memberi sesuatu kepada istrinya.” (Hal, 61)
Hamli
yang telah selesai kuliah, pulang ke Padang. Tapi dia menolak berbagai
perjodohan yang diajuhkan kepadanya. Dilubuk hatinya ada sesuatu keinginan
untuk mengembara, melalang buana mencari seseuatu. Dia juga tak setuju dengan adat-istiadat
yang begitu terikat. Dia memutuskan untuk melanjutkan kuliah ke Belanda, tapi
ibunya mengancam akan bunuh diri bila dia masih nekad pergi kesana. Dia
mengurungkan niatnya, hanya kuliah di
Jawa.
Di
jawa dia bertemu dengan seorang wanita bernama Din Wati, segala penyakit resah,
gundah, yang selama ini menjangkiti Hamli seketika hilang. Nenek yang melihat perubahan
itu mendukung hubungan mereka, meski neneknya tahu pasti akan ada pertentangan
dari pihak keluarga, dia tidak peduli. Hamli dan Din Wati telah diramalkan akan berjodoh.
“Jika
perasaan kasih Hamli kepada Din Wati, dan perasaan sayang Din Wati kepada Hamli
bertukar dengan rasa cinta sejati, Khatijah akan tetap bersyukur, karena besar
harapannya penyakit Sedih Hamli akan hilang semuanya.” (Hal, 147)
Setelah
mendapatkan berbagai rintangan karena cinta mereka yang begitu kuat
terlaksanalah pernikahan tersebut. Keluarga Hamli yang di Padang tidak diberi
tahu, hanya kepada Ayahnya yang telah bercerai dengan Ibunya, dia mendapatkan
persetujuan. Pernikahan berlangsung sederhana. Banyak orang yang kecewa dan
berniat jahat untuk memisahkan mereka, berbagai cara dari hasutan sampai
guna-guna, tapi tidak ada yang berhasil. Ibu Hamli dan keluarga besar di Padang
sangat murka dengan kabar tersebut, karena itu melanggar adat istiadat. Apalagi
Hamli menolak keras untuk menikah dengan perempuan padang sebagai suatu
kewajiban. Dia berjanji tidak akan menduakan istrinya. Laki-laki Padang harus
menikah dengan perempuan Padang, itu sudah harga mati, meski dia sudah beristri.
Kalau tidak maka harus siap-siap dibuang dari tanah kelahiran.
“Kami
minta kau kawin di Padang ini karena kami ingin melepaskan utang kami kepada
bangsa kami, kalau kau tak kawini dengan
perempuan padang, niscaya kamilah yang akan mendapatkan malu, karena seakan-akan
kami tak dapat mengawinkan kau sudah kawin di Padang ini, tak dapatlah orang
berkata, bahwa kami telah menyia-yiakan kau dalam kewajiban kami, karena tak
dapat dan tak kuasa membujuk kau. Itu suatu aib yang amat besar bagi kami”
(Hal, 358)
Novel
ini cerita sangat sederhana, konflik-konfliknya sangat natrual tidak ada kesan
hiperbola, mengalir seperti air dan datar. Membaca novel setidak jadi tahu dan
merasakan bagaimana sosial budaya pada zaman dulu.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan