Judul :
Turning Seventeen
Penulis :
Artie Ahmad
Penerbit :
Elex Media Komputido
Tahun Terbit :2015
Jumlah Halaman :
208
Pada
bab awal novel, alur ceritanya cenderung datar dan biasa. Jujur saya katakan
bahwa bisa menembak alur ceritanya bahwa Sekar hamil dari dia menunjukan gejala
lemas dan berkaitan dengan dia yang suka sembunyi-sembunyi saat bertemu dengan pacarnya.Saya juga bisa
menembak bahwa yang menghamilinya itu kakak dari sahabatnya sendiri, ini
terbaca saat dia menjenguk sekar yang sedang sakit bersama Kea. Saya menemukan gejolak konflik dan bikin grerget pada bab-bab akhir,
saat Prila meninggal. Saat Dirza menulis sebuah surat, ehms saat itulah merasa
terhayut dalam novel ini. Penulis berhasil mengaduk-aduk hati pembaca.
Novel
ini berkisah tentang persahabatan, Kea, Dirza, Sekar, Prila, Zizi. Anak remaja
yang sedang duduk dibangku akhir sekolah. Menatap mimpi akan masa depan. Mereka
yang berbeda karakter dan kebiasaan tapi bisa menyatu. Ada yang pediam, kutu
buku, miss kecantikan, hoby olahraga. Mereka melewati hari-hari penuh
warna-warni layaknya anak SMA pada umumnya, selain belaja juga suka jalan
barang. Kea yang memedam perasaan kepada Prana saudara kembar prila tapi cinta
yang tak terungkapkan tapi bertepuk sebelah tangan karena prana lebih menyukai
wanita lebih tua. Konflik mulai bermunculan dari orangtua Dirza yang tidak
rukun karena ayahnya ketahuan selingkuh. Dari Zizi yang ketangkep pak polisi
karena berteman dengan seorang yang suka makai. Sekar yang ketahuan hamil, dan
sampai kepergian dari Prila.
Aku menoleh ke Bima yang dari tadi Cuma diam.
Sejak bertemu dengan Sekar dulu, kakakku yang seorang playboy ini jadi terlihat begitu jinak kalau
di depan sekar. (Hal, 88)
“Benar! Ngak mungkin kamu bisa hamil. Kamu
bukan cewek berengsek seperti yang Prila katakan. Kalau aku yang hamil, itu masuk
akal. Aku sedikit berengsek dan pembangkang, sedangkan kamu?” Zizi mengegam
ujung meja. (Hal, 115)
“Bukan kamu yang bilang, kalau kamu
mau menjadi sahabatku tiga puluh, bahkan empat puluh tahun lagi? Lalu kenapa
kamu pergi secepat ini? Kita baru berteman selama enam tahun, bukan?” (Hal,
166)
Membaca
novel ini berasa tilas balik pada masa-masa SMA. Pergolakan konflik yang
terjadi sesuai dengan kondisi zaman ini. Pesan moral yang ingin disampaikan
penulispun sampai. Apa yang kita tanam itulah yang dituai. Kejarlah mimpimu
tanpa pantang menyerah, pasti kamu bisa mendapatkannya. Kita tak selamanya bisa bersama dengan para sahabat.
Pesan terakhir, sahabat akan selalu ada
saat bahagia dan sedihmu dan dialah yang akan menjadi saksi dalam perjalanan
hidupmu. Novel remaja yang pengemasan sederhana dan naturual tanpa sebuah
konflik yang dibikin-bikin.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan