Khamis, 13 Oktober 2016

CERPEN ; Ayah Yang Tak Pernah Kembali by Rosella Mecca




 Ayah Yang Tak Pernah Kembali by Rosella Mecca

 “Kau, bujang anak laki-laki ayah. Tak boleh cengeng, di pundakmu ada beban yang akan engkau emban. Nanti bila ayah jauh dari kalian. Kaulah yang akan bertugas menjaga ibu dan adikmu.”
“Ayah benaran akan pergi?”tanyaku lirih.
“Anakku, dengarkan ayah. Ini keputusan yang berat, nanti setelah usiamu  cukup, engkau pasti akan mengerti. Kenapa ayah mengambil keputusan ini.”
“Bagaimana kami bisa hidup bila tidak bersama ayah,.”
“Anakku, ayah yakin kau telah tumbuh menjadi laki-laki bukan anak-anak lagi. Maka, ayah membicarakan semua ini kepadamu. Ayah melakukan ini demi masa depan kalian. Bukankah, kau bercita-cita masuk perguruan tinggi dan menjadi insyiur. Ayahlah yang akan bertagung jawab untuk memwujudkan mimpi itu nak. ”
Hening terasa, tak ada kata yang bisa kurangkai. Bulir-bulir itu tak bisa jua kutahan. Mengalir dari pipiku. Malam itu, ayah sengaja mengajakku keluar rumah. Mencari angin dan menatap langit yang bertabur bintang. Aku tak menyangka, ayah akan membicarakan suatu hal yang serius. Kukira, ini rutinitas yang sering kami lakoni, menghabiskan akhir pekan. Iya, aku sangat dekat dengan ayah. Banyak yang bilang bahwa diriku ada duplikat darinya. Wajah, postur tubuh dan sikapnya. Ayahlah yang mengajarkan aku memanjat pohon, memanah, berenang di sungai, selain itu dia juga mengajarkan  pencak silat, katanya seorang laki-laki harus memiliki ilmu bela diri. Bukan untuk pamer kekuatan, tapi sebagai pelindung diri karena laki-laki akan banyak bersentuhan dengan dunia luar. Selain itu, aku selalu menceritakan semua kepadanya, baik masalah dan kebahagiaan yang kurasakan, hampir tak ada rahasia. Tapi hari ini, ayah mengutarakan sesuatu yang membuat airmataku menitik. Aku membayangkan bagaimana esok, bila ayah tak lagi memberi warna pada kehidupan kami.
Tangan kekar itu mencengkaram bahuku, lalu  memeluk tubuhku. Terdengar suara yang gemuruh dari balik dadanya. Aku tahu, ayah memang tidak menangis tapi dalam hatinya, dia menangis. Iya, ayah juga bersedih. Sama sepertiku.
“Anakku, ibu belum semua ini. Ayah hanya membicarakan kepadamu. Tugas ini, beban yang akan kau tagung kelak. Kau harus siap akan semua itu. Ayah percaya kepadamu. Jaga ibu dan adikmu, selama ayah tiada.”
“Ayah..,” bola kami beradu, aku tak sanggup untuk meneruskan kata-kata.

****
            Lambainan tangan ayah masih jelas tergambar di pelupuk mata, pagi tadi dengan langkah yang tertahan dan berat. Ayah pergi meninggalkan kami semua. Aku tahu, sekuat apapun dia berusaha menyimpan airmatanya, toh pagi tadi cairan bening itu mengalir dari kelopak matanya. Ibu berusaha tegar, dan adik perempuan yang masih lima tahun hanya diam dan sibuk dengan bonekanya. Dia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, dia berpikir bahwa ayah hanya pergi bekerja seperti biasa.
            Setelah, mobil yang melaju membawa ayah, hilang dari padangan. Ibu membalikkan badan, berlalu. Menutup pintu kamar, terdengar dia terisak. Iya, saat ini aku mungkin lebih siap menghadapi kepergian ayah. Sengaja aku mengajak adikku keluar rumah untuk membeli permen di warung. Membiarkan ibu sendirian di rumah.
            Seminggu berlalu, memang terasa ada yang kurang dan hilang, tapi waktu akan membuat diri beradaptasi. Mau tidak mau, suka dan tidak suka pada akhirnya akan terbiasa. Hidup akan berjalan, bersama kesibukan kepergian ayah tak lagi menjadi sebuah kesedihan. Ibu sibuk dengan rutinitas menyulam dan terkadang membuat kripik untuk dititip ke warung. Tugasku, juga tetap merawat ayam dan bebek, semakin hari terus bertambah jumlahnya, dan telurnya terkadang kujual untuk jajan.
            Setiap bulan kiriman rutin dari ayah untuk memenuhi kebutuhan kami selalu mengalir bersama surat. Lalu, aku akan membalas surat itu, berlembar-lembar, sejak saat itu aku mulai suka menulis. Padahal dulu menulis adalah pekerjaan yang paling membosankan, jangan tanya nilai bahasa indonesiaku dan tugas mengarang, dapat nilai enam itu sudah paling tinggi. Kuceritakan semua hal, tentang sekolahku, ibu, adikku dan segala rutinitasku. Tak lupa selalu kutanyakan kapan dia akan pulang, kami selalu merindukan kehadirannya.  Tak lama, surat balasan darinnya. Ayahpun akan menceritakan keadaannya disana, tentang pekerjaannya. Dia akan menyelipkan photo saat berpose di tepi pantai, di atas kapal. Dibalik photo itu selalu ada tulisan. “keluargaku adalah napas, ayah akan pulang.” Aku sangat senang, begitu juga dengan ibu.
            Ayah memutuskan untuk mengikuti jejak teman satu sekolah dulu yang bekerja di kapal. Ayah bertekad ingin merubah nasib dan kehidupan. Biar Aku dan adikku bisa sekolah tinggi. Andai, dia mengandalkan pekerjaan disini yang hanya serambutan, tak menentu. Kadang ngojek, kadang ngecat, dan lain sebagainya. Ayah dulu bekerja di perusahaan makan instan, sebagai buruh. Tapi perusahaan itu sekarang gulung tikar. Ayahpun harus kehilangan pekerjaan dan menjadi pengaguran. Untung ibu tidak bergantung pada ayah. Ibu berusaha kreatif mengisi waktu luangnya, dan bisa menghasilkan uang meski tidak seberapa. Ibu, bukan perempuan yang banyak menuntut. Masa-masa sulit yang dilewati saat krisis melanda rumah ini. Tak pernah diisi dengan keluhan. Mereka saling menguatkan satu sama lain. Ayah berusaha membanting tulang dan ibu sebisanya membantu.
            Minggu pertama diawal bulan, pak pos akan mengetuk pintu rumah kami mengantarkan sebuah amlomp bersama beserta bingkisan. Tapi berapa telah bulan berlalu, surat yang kukirimkan untuk ayah tak pernah mendapatkan jawaban lagi. Aku semakin rajin mengirim surat. Berapa kali, aku pergi kekantor pos untuk memastikan apakah suratku telah sampai, atau ada surat yang dikirimkan untukku. Tapi hasil yang nihil. Aku pulang dengan tangan gontai.
            Setiap hari, aku menunggu kabar dari ayah. Pikiran jahat terkadang melintas dalam benak, apa mungkin terjadi sesuatu pada ayahku, atau dia telah tiada. Aku buru-buru menepis semua itu, mungkin dia sedang belayar kesebuah pulau terpencil. Ayah, pasti baik-baik saja. Begitulah aku berusaha menenangkan hati.
            Tapi satu tahun berlalu, ayah hilang tanpa jejak dan kabar. Surat yang kukirimkan tak pernah ada balasan. Aku berusaha mencari rumah teman ayah, tapi penghuni rumah itu telah pindah ke Kalimatan, begitulah.
            Setiap kali, aku pulang dari kantor pos. Ibu akan bergegas menanyakan apa aku mendapatkan kabar tentang ayah. Aku tahu, ibu pasti sangat sedih dan terpukul. Begitu juga yang kurasakan. Tapi aku tak boleh menyerah, bukan dulu ayah berpesan aku harus menjaga keluarga ini. Menjaga adikku, dan ibu.
                                                                                                            By Rosella Mecca

Tiada ulasan: