Sabtu, 8 Oktober 2016

CERPEN ; BUKAN SAMPAH PERADABAN By Rosella Mecca


                                                         
BUKAN SAMPAH PERADABAN

Jalanan  adalah rumah bagi kami, disinilah tempat kami menapaki perjalanan hidup. Tidur beratapkan langit  dan beralasan bumi.  Tempat kosong dan lapak yang tak berpenghuni itulah rumah tempat melepaskan lelah. Di emperan toko, di halte busway, di bawah jembatan dan pinggiran taman. Kami layaknya sampah yang terbuang, terbuang oleh pemilik peradaban. Selayaknya sampah kami selalu di agap merusak pemadangan, seperti sampah kami harus di musnahkan, seperti sampah kami tak pernah di pelihara dan diperlakukan layaknya manusia.  Layaknya sampah kami bisa menyumbat perjalanan air, kami yang tak terpelihara menjadi liar dan beriangas. Kalian tahu hidup di jalanan sama seperti hutan rimba, siapa yang kuat dia yang menang. Berlaku juga untuk bangsa ini siapa yang punya uang dan kekuasaan dia dapat menekan orang kecil seperti kami. “Tuhan tidak adil” Rajaf berteriak keras menatap langit yang gelap, segelap hatinya yang kacau. Amarah yang tak bisa tertahan bersama perut yang kian merajam karena tak terisi makanan.
Bersama kejadian  sore tadi yang terus berkelebatan, membuat degupan jantungnya berdetak kencang. Di balik dinding toko, dia melihat tanpa bisa berbuat apa-apa.  Adiknya  ditarik-tarik tanpa ampun bersama jeritan tangis yang tak berujung, meraung-raung minta ampun. Meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari cengekeraman tangan raksasa menerkam tubuhnya. Pagi yang cerah seperti biasa, dia dengan adiknya terbangun sebelum fajar menyising. Melangkahkan kaki sebelum toko di buka dan mereka terusir. Hidup ini memang kejam, lebih kejam dari harimau yang kelaparan. Seminggu yang lalu ayah harus meregang nyawa karena di keroyok masa dan dibakar hidup-hidup setelah  menjambret tas seorang wanita.   Nyawa  bagi orang kecil seperti kami sama seperti membunuh semut yang mengigit kulit. Tidak ada harga, sama sekali. Lihatlah para pencuri berdasi bebas berkeliaran memakan kami, bukankahh mereka yang membuat kami begini. Seharusnya nyawa mereka yang lenyap dari muka bumi.
Ayah tak bersalah, dia hanya gelap mata, setelah berapa hari perut  melilit tidak ada yang bisa dimakan, sedangkan adikku terbaring lemah  suhu tubuhnya tinggi, obat warung tak lagi mempan. Di sepetak rumah yang terbuat dari kardus kami tinggal, tak ada makanan yang tersisa. Uang hasil aku mengamen harus di bagi  dengan preman dan hanya tersisa berapa rupiah untuk  membeli obat dan sebuah roti penganjal perut adikku. Tenaga Ayah sebulan terakhir, tak lagi di gunakan karena cece sang toko memecatnya tanpa sebab. Ayah yang tak memiliki keahlian lain kecuali mengangkat barang harus pusing tujuh keliling. Berkeliling menawarkan diri, tapi tak ada yang berminat memakai tenaganya.
 Gigit jari, saat langkah kaki tak menghasilkan apa-apa. Rintihan perih kesakitan  tak luput dari padangan, keringat dingin bencucuran, kaki terasa lelah membuat laki-laki itu beristirahat. Dia duduk di pinggir jalan raya, bersandar pada dinding. Senja telah berganti malam, hari ini tak ada uang yang bisa dibawah pulang, anak yang tersayang mengaga minta makan, merintih minta di suntik. Teriakan pemilik tanah yang menjerit setiap saat, karena dua bulan belum bayar pajak tanah sebesar 75 ribu perbulan. Tempat tinggal yang dia huni hanyalah sepetak  cuma cukup untuk meringkukkan tubuh. Bila minggu ini dia tidak membayar  siap-siap kena tendang dari rumah kardus tersebut.
Orang hilir mudik, lewat dihadapannya. Pikiran jahatpun hadir, bila dia mengambil tas pasti didalamnya berisi Hp dan berapa uang. Cukup untuk membayar kontrakan  dan minta obat suntik  untuk anaknya. Berapa orang yang lewat selalu dia urungkan niat karena kegundahan yang melanda antara kepedihan hidup dan ketakutan yang menghatui.  “Ahh, tuhan izin sekali ini saja aku mencuri,” desis pria itu dalam hati. Seorang wanita rambut tergerai memakai kacamata, tas dijijing di tangan tampak dari kejauhan berjalan ke arahnya. Dia menoleh ke kiri dan kanan  tampak legang. Target tepat berada dihadapan, siap-siap mengambil posisi  dengan duduk berjongkok, target lewat dihadapanya. Tangannya dengan keras menarik tas dan langsung berlari. Target menjerit histeris, malang baginya saat itu ada segerombolan pemuda yang pulang dari bermain fustal, langsung mengejarnya mati-matian. Tenaganya terkuras habis. Dia  terjatuh, kaki tak kuat lagi untuk melangkah. Tubuh kaku di seret-seret, layak binatang buruan. Lebih dari  itu sebenarnya, pukulan bertubi-tubi dilayangkan ke tubuh rikihnya. Darah yang mengalir terasa asin, bersama peluh yang bersimba. Tak terasa lagi apa itu nyeri, tak terasa lagi itu sakit, dia hanya melihat anaknya meratap di rumah menahan lapar dan sakit. “Bakar..bakar!!” teriak samar-samar di telinganya “bakar..hidup-hidup biar jera!!” tak ada kata ampun aroma bensin menyengat mengalir pori-pori sehingga bara itu membesar melalap habis tubuhnya.  Samar-samar wajah  kedua anaknya tenggelam bersama kobaran api yang besar.
Aku berlari kencang menebus malam, saat aku dengar bahwa ayah telah dibakar massa.  Kaki tertahan menatap seogok jazad yang di masukkan kedalam ambulan. Malam itu aku menyisir malam menunju rumah sakit meski wajah ayah tak bisa kutatap. Dengan menelan ludah dan tubuh lelah , berlari menembus malam. Aku harus mengajak adikku pergi, esok pasti akan ada segerombolan orang yang mencari informasi.
Pelan-pelan aku angkat tubuh adikku bersama erangan yang keluar dari mulutnya bersama sisa tenaga yang masih tersisa, dan aku letak tubuhnya ke punggung. Tak ada yang bisa di bawah cuma pakainan pembungkus badan dan alat kericingan untuk mengamen, itulah harta. Harta yang masih tersisa di rumah kardus ini. Dengan tertatih aku berjalan menyusuri pekatnya langit, aku ingin pergi sejauh mungkin dari tempat ini.
Entah telah sejauh mana perjalanan ini, pasti mentari sudah menampakkan wajahnya. Lalung lalang kendaraan sudah memadati jalan. Di bawah pohon aku rebahkan adikku, setidaknya beristrahat sejenak dari rasa penat selama perjalanan. Lelah memang lelah seperti lelah hati yang merana menangung penderitaan yang tiada bertepi. Ayah sudah berada dilangit sana sekarang, aku elus wajah yang masih terpejam. Setidak tuhan maha pengasih karena panas tubuh Rama sudah menurun, keringat  telah mengalir dari pori porinya. Pelan-pelan dia membuka mata.
“Kita dimana kak?” Wajah lugu itu bertanya padaku.
“Kita lagi di jalan, beristirahat sebentar.” Aku menyodorkan minuman, minuman yang aku punggut dijalan bersama roti yang sudah berlemut setidaknya ada makanan mengajal perut. Rama meraih minuman yang aku sodorkan, dia meminum tanpa tersisa sedikitpun. 
“Kakak lapar?”
“Kamu makan ini,  nanti kita beli nasi kalau punya uang.” Dia mengaguk tanpa banyak bicara langsung melahap roti itu.
Di sela-sela mengunyah dia menanyakan dimana ayah. Keluh lidahku terasa bagaimana harus aku jelaskan padanya. Kematian ayah yang sangat targis hampir tak menyisahkan pesan. Diam terdiam dalam deru suara kendaraan.
***
Sejak peristiwa itu, jalanan adalah rumah bagi kami. Kami hidup di jalanan, makan, tidur dan melepaskan kepenatan. Jalan adalah hutan rimba siapa yang kuat dia yang berkuasa, bagiku bisa makan dan mengajal perut itu sudah cukup.
Hari ini aku mengajak adikku mengamen mencari recehan-recehan dari para penumpang bis. Aku ajak dia untuk membuntutiku. Aku tak berani meninggalkan dia sendiri, ini kota besar. Seperti kata ayah  “Sekejam-kejam ibu tiri masih kejam ibu kota”. Ibu kota  sifat individu lebih tinggi daripada rasa sosial. Tingkat kepedulian terbang bersama asap kendaraan yang menjadi polusi tertinggi di kota.  Harta yang paling berharga yang tersisa  adalah adikku. Aku tak ingin kehilangannya dan akan menjaganya dengan sebaik mungkin.
Rama mengikuti dari belakang menyusuri, dengan baju yang seminggu tidak mandi. Wajah kumel karena tidak tersentuh dengan air. Bersama teriknya matahari kami menjual suara, suara yang nyaring lebih kepada seperti orang menjerit. Penghasilan yang didapat tidak seberapa cuma ada berapa butir uang 500 rupiah tapi kami bersyukur. Adikku mengikuti dari belakang memegang bajuku, saat berjalan dari satu kursi ke kursi.
Jumlah pengamen sudah tak terhitung lagi, semakin hari semakin ramai anak jalanan.  Di jalanan kami mengkais rejeki sama seperti ayam liar yang mengkais-kais tanah mencair santapan lezat yaitu cacing. Aku menghitung hasil mengamen hari ini, tidak banyak memang tapi cukup untuk mengajal perut yang lapar. Aku ajak Rama yang  tampak letih untuk beristrahat sejenak, melepaskan lelah yang telah mendera. Aku sapuh keringat yang membanjiri muka. Rebahan sejenak di pingiran taman dan menarik napas pajang untuk memberi ruang ketenangan. Aku pejamkan mata sejenak, Rama rebahan di pangkuanku, aku elus rambutnya secara pelan-pelan. Seketika pundakku ada yang mencengkeram dengan keras, tubuh terangkat berapa senti.
“Ini dia orang yang telah menyerobot wilayah anak buah saya? E…ei kamu bocah serahkan hasil mengamen padaku atau tubuhmu akan saya banting?” Mata melotot dengan gigi yang berderit. Jeritan histeris tampak jelas di wajah lugu adikku. Entahlah aku seakan menantang mata laki-laki itu dengan penuh pias kebencian. “Ini hasil kerja kerasku,  kalian seenaknya merampas, itu tidak boleh terjadi,” jeritku dengan berang. Laki-laki itu tak tinggal diam dia semakin beringas melihatku, tangan kirinya mencengkram leher adikku.  Rama semakin menjerit ketakutan. Sayatan kepedihan yang mendayu penuh kepiluan. Luluh hatiku tanpa daya, aku sodorkan uang hasil kerjaku hari ini, hasil keringat yang menguras energi. Tawa menggelegar sampai kelangit.  Aku peluk erat tubuh adikku yang masih seguguk beruraian airmata, mencoba menenangkan.
Kami harus melewati malam dengan perut  lapar. Berkali-kali aku suruh Rama memejamkan mata, agar dia beristrahat besok akan ada perjalanan yang melelahkan lagi yang akan kami lakoni. Dia hanya  membolak balik tubuhnya kekiri dan kekanan dengan mata yang terpejam namun berapa saat dia membuka mata.
“Kak, aku lapar… jadi tidak bisa tidur,” keluhnya sambil memegang perut.
Lagi-lagi aku mendesah napas pajang menatap langit, langit yang cerah bertabur bintang.
“Ayo kita jalan mencari makanan?”
“Rama tidak kuat lagi kakak untuk berjalan?”
“Ya sudah, kakak gendongnya”
Setapak demi setapak menyusuri jalan pajang, mengkais di tong sampah dengan tangan mungkin ada makan yang tersisa. Bau yang menyengat seakan berpadu dengan bau tubuh kami. Ulat yang mengeliat di balik kantong yang aku buka mengurungkan niat untuk menngkais lebih dalam, mencari tong sampah yang lain mungkin mendapatkan makanan yang lebih layak  untuk mengajal perut, hingga pada kotak sampah yang ketujuh.  Ada bungkusan nasi yang dibuang. Aku amati sepertinya  masih baru dan tersisa lauk. Aku raih bungkusan nasi itu, dan aku rebahkan Rama yang telah terlelap. Pelan aku membangunkannya dan menyuruh makan.
“Kakak tidak makan,” tanya padaku. Aku hanya  menggeleng dan berujar bahwa sudah kenyang. Tak lama dari situ Rama tertidur kembali mungkin karena dia kecapekan  seharian ikut aku mengamen. Aku meraih sisa nasi dan melahapnya dengan sekali suap, setidak cukup untuk mengajal mulut cacing yang dari tadi berdecit-decit.
***
Pagi itu aku mengamen pada rute yang berbeda dari sebelumnya, trauma dengan preman kemarin. Rejeki hari ini lumayan, siang hari dapat uang sekitar 20 ribu.  Aku memutuskan untuk beristrahat dan membeli dua bungkus nasi.
“Kakak, Rama tunggu disini saja, aku capek berjalan.” Rengeknya lemas.
“Iya, kamu tunggu disini,  kakak akan membeli nasi bungkus di warung ujung sana.”
Aku berlari kencang menembus jalan, jam makan siang antrianpun pajang. Aku harus bersabar menunggu untuk dilayani  akhirnya dua bungkus nasi telur berada di tangan. Aku bersiul dengan riang hari ini makan enak , malam nanti bisa tidur nyenyak karena perut kenyang. Pancaran kesenangan itu hanya sebentar singgah, saat  aku menatap mobil patroli mendarat. Orang-orang berseragam menyeret-nyeret para anak jalanan dengan paksa dan tanpa ampunan. Nasi yang ada dibungkus terjatuh kelantai, saat mataku melihat adikku di seret tanpa ampun.
Bila dijalanan kami harus terusir lalu dimana kami harus tinggal, kami adalah sampah malah lebih dari sampah yang harus ditertibkan atas nama keindahan. Wahai para pejabat negeri ini, kalianlah yang merampas keindahan itu. Lihatlah dengan membuang Kami ketempat yang jauh lebih buruk dari jalanan itu sendiri, kalian mengatakan bahwa ini program untuk pemberantasan dari kebodohan, tapi kami adalah orang yang bodoh yang tercipta dari kalian.  Pembinaan anak - anak jalanan tanpa sebuah landasan yang benar, bagi kami hanyalah sebuah permainan buruk. Hak  kebebasan  sebagai makhluk hidup hanya angan-angan semu.
***
                                                            By Rosella Mecca
                                                                                BIODATA
Nama pena saya adalah Rosella Mecca, memiliki hoby membaca dan menulis adalah cara saya berekspresi. Akun Facebook ; Rosella Mecca. FansFage ; Rosella Mecca. Perawat adala profesi yang saya pilih.


Tiada ulasan: