Selasa, 11 Oktober 2016

CERPEN : RANIA DAN HUJAN By Rosella Mecca



RANIA DAN HUJAN By Rosella Mecca

            Waktu telah bergulir begitu cepat, dia selalu duduk di bawah pohon itu saat hujan, dan membiarkan rintik-rintiknya membasahi tubuhnya. Dia tak akan pernah beranjak dari sana sebelum hujan itu berhenti. Meskipun hujan badai sekaligus diwarnai dengan petir.  Orang-orang tak lagi mempedulikan apa yang dia kerjakan, karena sudah bosan menegur dan mengingatkannya. Tubuhnya, mungkin telah bersahabat dengan hujan karena dia tidak pernah sakit, diserang flu ataupun meriang. Namanya Rania, perempuan bermata sendu yang tidak banyak bicara.
            Sudah menjadi lakon yang dia mainkan, setiap hujan turun maka akan bergegas keluar rumah dan membasahi tubuhnya dengan hujan. Aneh memang, prilaku keluar dari kebiasaan orang banyak. Orang-orang akan berlarian mencari tempat berteduh atau sengaja bersembunyi didalam rumah hanya menikmati hujan dibalik kaca jendela, terkadang juga berselimut tebal memejamkan mata untuk istirahat. Tak setiap orang mengagap hujan itu istimewa.
            Sore itu, langit tampak gelap dan awan berarak-arakan. Kabut pekat merubah warna langit. Tanda-tanda hujan akan turun. Rania, wanita itu sudah duduk di depan rumahnya. Dia menatap langit penuh makna. Lalu dia bergegas pergi, duduk dibawah pohon depan rumahnya. Tak lama, hujan turun. Tubuhnya menyatu bersama rintik hujan.
            Orang-orang hanya akan berbisik membicarakan tingkahnya, ada yang bilang bahwa itu merupakan ritual, ada juga yang bilang bahwa wanita itu tetesan dewa hujan, ada juga yang bilang bahwa wanita lagi mencari ilmu kebal, dan bermacam-macam prasangka lainnya. Menjadi cerita akan sikap dia yang keluar dari kebiasaan.
            “Bersama hujan maka kesedihan itu akan hilang, seperti hujan yang menyapuh debu-debu, membasahi bumi dan menghapus kegersangan. Daun-daun menghijau dan bungapun bermekaran.  Sambutlah hujan maka setiap kali rasa sedih itu datang. Maka semua kepahitan dan kepedihan yang kau alami akan terhapuskan.” kata-kata itu selalu teriang di telinganya. Ucapan wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini, saat  sedang menghibur dirinya yang sedang bersedih. Ibu akan mengajak menatap hujan dan  membiarkan sekali-kali bermain hujan, da air dari langit itu membasuh tubuhnya. Ibunya tak pernah marah,  bila ia berlarian mengintari rumah menyambut hujan. Tapi lakon itu tinggal kenangan. Toh ibunya sekarang telah menyatu dengan tanah, menghadap sang pencipta. Begitu juga sang ayah. Sekarang hanya dirinya menjalani hidup sebatang kara.
            Hanya hujanlah satu-satu alasannya dia terus melanjutkan hidup, setelah berapa kali bisikan hatinya, kemarahanya jiwa pada dunia yang menggerakan dirinya untuk mengakhiri hidup. Tapi setiap hujan turun menyapa bumi, setiap itulah dia akan menemukan kebahagian, dia seolah berdialog dengan kedua orangtuanya. Pesan-pesan yang dia sampaikan bahwa dia harus tegar dan kuat. “Hujan itu datang membawa pekat, awan hitam, kegelapan, halilitar dan badai, tapi setelah itu akan ada kehidupan yang baru. Sungai-sungai akan terisi, pohon-pohon tumbuh. Begitulah setiap hal dalam kehidupan ini. Kejadian yang menyakitkan akan menumbuhkan sebuah harapan baru.”
            Masih segar dalam bayangan, tragedi sore itu yang telah meluluh lantakan kehidupannya. Tiap kali dia mengingat kejadian itu, amarah dalam dada membuncah. Diapun akan menguntuk dunia dan ketidakadilan. Siang itu, matahari bersinar cerah saat dia pulang sekolah, sedang menyatap makanan, sementara ayahnya sedang menikmati secangkir kopi. Sebelum pintu rumahnya digendor, segerombolan laki-laki berseragam  dengan senapan ditangan, menorobos  masuk. Piring yang berada dipegangnya jatuh kelantai. Ibu yang baru selesai sholat, langsung keluar menyaksikan keriuhan. Ayah, berdiri dengan wajah getir tapi tidak ada ekspersi ketakutan disana.
            “Apakah bapak, namanya pak Darman?” dengan nada keras laki-laki itu bertanya dan sorot mata yang tajam.
            Bapak mengaguk  dan menatap laki-laki beseragam yang menodongkan pistol kerahnya.
            “Bapak ditangkap atas tunduhan sebagai ketua jaringan teroris, dan menjadi otak pengboman, di sebuah hotel berbintang satu bulan silam.”
            “Saya bukan teroris pak, saya warga biasa. Saya tak pernah mengbom. Bentuk Bom saja saya tak pernah lihat. Membayangkan saja saya takut.” kata bapak lantang.
            “Diam.. berhenti berkelit. Ayo ikut kami kekantor!”
            “Tidak, saya tidak bersalah. Saya tidak mau kekantor.”
            “Kamu harus ikut atau pistol ini akan melenyapkan nyawamu. Jangan banyak bicara, cepat.” Dia menyeret tubuh tubuh ayah.
            Rania terisak sambil memeluk ibunya. Ayahnya terus melakukan perlawanan dan dia dengan tegas mengatakan tidak mau ditahan. Meski laki-laki berwajah sangar itu memaksanya, tapi bapak tetap berdiri tegak dan tegas mengatakan bahwa dia tidak bersalah.
            “Suami tidak bersalah pak, jangan tahan dia. Dia hanya seorang pembuat pisau. Mana mungkin seorang tamat SMP bisa membuat bom. Sekolah saja untung dapat ijazah.” Jerit  ibu histeris, saat tubuh suaminya ditarik keluar. Rania tak kalah, dia meraung-raung, menarik seragam pria berpistol itu. Tapi tubuhnya terlempar dan tersungkur, saat laki-laki itu mendorongnya.
            “Ayah.ku tidak bersalah.. jangan tangkap, dia.. kalian tidak boleh menangkapnya!”
            “Ibu juga terlibat dari recana pengboman, dan harus ditahan.”
            “Tidak..tidak..saya tidak bersalah pak, bapak salah menangkap orang. Kami cuma peduduk biasa.” isak ibu.
            Tubuh ayahnya tetap diseret-seret,  sekuat tenaga ayah melepaskan  cengkraman laki-laki berseragam tersebut. Saat dia mendengar istrinya juga akan ditahan. Dia berusaha lari untuk mencegah istrinya tapi “door..” bunyi suara pistol, langsung memercikkan darah segar, mengalir dari kepala, dan dada laki-laki tersebut.
            “Aya…h,” teriak Rania.
            “Aku dan istriku Tidak bersalah.” Mata laki-laki itu menutup.
            “Ayah!”
            Ibu langsung pingsan saat melihat suaminya tergeletak, dua peluru telah bersarang di badannya.
            Dia memeluk tubuh ayahnya, tapi laki-laki berseragam itu malah menyeretnya untuk menjauh, sebuah mobil bertank besi, membawa ayahnya beserta ibunya. Diapun terus menjerit memanggil kedua orangtuanya, dia mengejar mobil yang terus melaju dan akhirnya tertunduk sayu penuh kepilu mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi.
            Dua minggu dari situ, jenazah kedua orangtua dibawah kerumah. Dan saat itulah semua terasa berhenti, kehidupan dan harapannya. Semua telah hilang dan lenyap dalam sekejap.  
            Kata mereka kedua orangtuanya adalah teroris, begitu juga dunia mengisahkan tentang keduaorangtuanya. Di berita, dikoran, dan di sudut dunia manapun. Cerita itu bergulir. Dan semua menyematkan kata teroris pada orangtuanya.  Tapi baginya orang-orang yang telah merengut harapan hidupnya, mengakhiri kehidupan keduaorangtuanya. Mereka semua adalah teroris. Berapa bulan kemudian berita itu meredup, samar-samar terdengar bahwa laki-laki berseragam itu telah salah tangkap. Tapi dunia seolah egan membicarakan, sampai kisah itupun terkubur begitu saja.
 Ayahnya hanya seorang pembuat pisau dan petani, sedangkan ibunya seorang ibu rumah tangga yang menghabiskan waktunya membuat anyaman terbingkar dan saat sore menjelang ayahnya akan mengajar ngaji anak-anak peduduk desa. Sementara ibu, sibuk didapur. Ayah laki-laki baik yang tak akan pernah terpikir untuk membunuh orang, apalagi mengebom.
            Ayahnya hanya laki-laki sederhana yang mengajarkan banyak hal pada Rania. Dia tak pernah bermasalah dengan orang lain, bertingkah aneh ataupun berbuat hal yang mencurigakan. Bila malam menjelang ayah dan ibu menghabiskan waktu di rumah. Tak pernah terlihat orang yang bertamu. Kehidupan mereka terbilang normal dan baik-baik saja, layak keluarga lain yang penuh cinta kasih. Lalu kenapa mereka diagap teroris. Atas dasar apa ?
 Ayah telah tenang disana begitupun juga ibu. Kisah itupun telah terhapus oleh waktu berganti berita lain. Tapi bagi Rania, setiap kali dia teringat peristiwa itu maka rasa sakit itu menjalar kesekujur tubuhnya. Mengingat tubuh kaku keduaorangtuanya terbungkus kain kafan.
            Untuk mengobati luka tersebut dan menghapus kejadian pahit itu, dia selalu mengahabiskan waktunya bersama hujan. Membiarkan tubuh disapuh, berharap air yang menentes itu akan menghapuskan setiap hal yang menyedihkan dalam hidupnya. Rania dan hujan, hanya dengan hujanlah dia bisa bertahan dan besok masih ada harapan. Sepuluh tahun peristiwa itu berlalu, dan dia tetap bersahabat dengan hujan.
                                                                                                            By Rosella Mecca

           
           
           

Tiada ulasan: