Jumaat, 14 Oktober 2016

CERPEN ; SEPASANG MATA PENUH CINTA By Rosella Mecca



 SEPASANG MATA PENUH CINTA By Rosella Mecca

            Dia selalu menggandeng tangan istrinya, menggegam penuh kehangatan. Perempuan dengan wajah yang memiliki lipatan dan kerutan di wajahnya. Perawakan tinggi dengan mengenakan kacamata. Sedangkan laki-laki itu, suami telah tumbuh uban dikepalanya tapi masih bugar. Usia istrinya lebih mudah tujuh tahun. Setiap bulan dia membawa istrinya untuk kontrol rutin kerumah sakit. Dia dengan sabar mengikuti gerak lamban sang istri,  yang badannya sering bergetar karena penyakit yang dideritanya. Sebuah penyakit saraf bernama parkison, selain itu ibu itu pernah menderita stroke non hemoragik, dua tahun silam.
            “Selamat pagi buk, silahkan duduk.” Aku menyapa mereka dengan seyum.
            “Terimakasih,” jawab laki-laki itu.
            “Apa yang dirasakan buk? Apakah  keluhannya?” sambil mengukur tekanan darah.
            “Iya suster, tangannya masih suka bergetar dan kaku. Tapi sudah lebih baik dari bulan kemarin. Tapi nafsu makannya menurun. Minum obat susah suster.” Jawab suaminya.
            “Ibu, mau sembuhkan ?”
            Dia hanya mengagukan kepala sambil menunduk.
            “Kalau ibu mau sembuh harus semangat, obatnya diminum dan harus makan.”
            Setelah melakukan pemeriksaan dasar, kutulis semuanya dilist kuning. Dan mempersilahkan mereka menunggu karena dokter spesialis belum datang.
            Laki-laki itu bercerita bahwa tahun ini jadwal keberangkatan haji mereka, tapi dia bingung melihat kondisi istrinya. Apakah mungkin bisa ikut bersama dengannya, kalaupun dia berangkat sendiri,  tak bisa meninggalkan istrinya terlalu lama. Siapa yang akan merawatnya. Semua aktivitas istrinya, dari mandi, menyuapi, memasangkan pakainan dan lainnya sebagai suami yang melakukan. Diapun tidak ingin merepotkan anaknya dan tidak percaya bila orang lain yang merawat istrinya. Sepasang suami istri ini, memiliki empat orang anak. Semua telah menikah, 3 diantaranya merantau di kota seberang sedangkan satu anaknya tinggal tidak jauh darinya tapi  habis melahirkan. Anaknya tidak keberatan untuk mengurus sang ibu.
Dari 20 tahun silam, mereka menyisihkan tiap uang yang mereka dapatkan untuk ditabung sebagai biaya berangkat ketanah suci. Semua recana mereka hamper terwujud. Bibir wanita itu tampak bergetar ingin mengatakan sesuatu pada suaminya. Laki-laki itu, menggegam tangan istrinya,  mencoba memahami apa yang dia katakan. “Iya kita akan berangkat bersama.” lalu bulir airmata mengalir dari mata istrinya, dia tampak terisak. Laki-laki itu, memeluk tubuh istrinya untuk menenangkan. “Kita akan berangkat kesana.”
            “Kalau ibu mau berangkat ketanah suci, harus rajin minum obat dan mau makan. Biar cepat sehat dan bisa ikut berangkat haji.” Kataku.
            “Dengarin kata susternya, jangan malas makan dan minum obat.”
            Wanita itu hanya mengagukkan kepala, dan suami menghapus airmata yang mengalir dari mata perempuan itu.
            “Mungkin saja, ibu bisa ikut berangkat haji meski kondisi seperti. Tapi bapak tentu akan sedikit kerepotan. Tapi disana ada tenaga medis yang stanby. Akupun ikut mendoakan semoga kondisi ibu semakin membaik dan bisa ikut.” selaku
            “Terimakasih suster.”
            Dia sepasang suami istri, memadang mereka memberikan sebuah arti bahwa  begitu bentuk sebuah kasih. Aku sempat menanyakan kepada bapak itu, apa alasan dia begitu setia pada istrinya, menjaga dan merawatnya. Ah..! kondisi seperti ini, pemadangan yang begitu sangat jarang kulihat dan bisa dibilang baru pertama kali setelah bertahun-tahun  bekerja disini. Aku lebih sering menyaksikan kondisi sebaliknya. Dari para pasien yang berobat kesini.
            Laki-laki itu mengatakan bahwa aku telah memilih dia menjadi istriku, maka jiwaku dan jiwa telah menyatu menjadi satu. Sakit yang dia rasakan adalah sakitku, begitu juga bahagia yang dirasakan. Sepasang kaki akan pincang bila salah satu kakinya sakit. Sudah seharusnya dan kewajibanku untuk menjaganya, aku tak ingin kehilangan satu kaki itu. Separuh kehidupan dan sampai hayatku dialah kaki yang akan menemani perjalan hidup dan mengarungi semuanya. Aku adalah laki-laki, bila dulu saat masih sehat dia merawatku dengan begitu baik, lalu betapa tidak berprikemanusian dan tidak memiliki hati bila meninggalkannya. Dia menderita penyakit seperti ini, aku memiliki andil didalamnya. Dia telah bekerja begitu keras untuk merawat rumah, menjaga anak-anak, terkadang membantu membanting tulang.  Inilah saatnya aku membalas. Doaku, saat ini sus, cuma satu berharap diberi kesehatan agar bisa terus menjaganya.
            Sungguh kuterharu mendengar kata yang lahir dari bibir bapak itu. Hatiku berdesir dan menitipkan doa dalam hati, “Tuhan bila nanti Kau sandingkan aku dengan seseorang, moga sikap dan prilaku sebaik bapak itu, kesetiaannya juga begitu.” Teringat sebuah quete “Orang mencintai saat kau memiliki segalanya, itu biasa. Tapi yang luar biasa adalah saat kau tak memiliki apa-apa, sedang tertimpa musibah sehingga jatuh miskin, atau kehilangan anggota tubuh karena kecelakaan, dan mungkin saat kau jatuh sakit. Dia tetap mencintaimu itu baru sesuatu yang luar biasa.”
            Hari ini, sepasang suami istri itu kontrol kembali ke rumah sakit, selain memeriksa istrinya bapak itu berpamitan kepadaku bahwa minggu depan mereka akan berangkat haji. Bahagia, aku mendengarkannya, tak lupa mendoakan semoga perjalanan mereka diberikan kelancaran. Tampak sinar kebahagian dari mata wanita itu, sebuah pancaran. Bagaimanapun ini adalah mimpi mereka berdua. Mimpi mereka akan terwujud.
            ****
            Laki-laki itu datang ke poli, tapi kali ini ada hal yang berbeda. Dia tidak bersama istrinya. Aku langsung menanyakan keadaan ibu, bagaimana kondisinya. Matanya berkaca-kaca, sejenak dia terdiam.  Suara tercekat. Aku mempersilakannya duduk terlebih dahulu.
            “Suster, istri saya telah pergi menghadap illahi.”
            Aku sangat kaget mendengarnya, tiba-tiba buku yang kupegang terlepas. Sesaat kemudian aku bisa mengendalikan diri dan mengucapkan turut berduka cita. Seketika rasa sedih bergemalayut, tak akan kulihat lagi sepasang mata yang penuh cinta itu. Sepasang mata yang  mengajar tentang arti kasih.
“Satu hari setelah kami sampai di rumah. Dia tidak sempat dibawah kerumah sakit, semua berjalan begitu cepat. Dia mengeluh sakit kepala dan tiba-tiba terjatuh. Tapi aku bahagia karena impian kami untuk ketanah suci telah terwujud. Dan tuhan memberikan kemudahan selama menjalankan ibadah. Selama ditanah suci kondisi kesehatan sangat baik, tangan dan tubuhnya tidak pernah bergetar.” Bapak itu menceritakan dengan mata sendu.
“Bapak yang sabar, ini semua recana dari tuhan. Dan ibu pasti sudah bahagia diatas sana.”
“Iya suster. Suster, saya ingin mengucapkan terimakasih karena telah merawat istri bapak. Bapak hanya ingin memberikan kenangan-kenangan ini dari tanah suci. Ini ibu yang membelikan. Katanya buat suster karena telah memberikan dia semangat buat ketanah suci.”
 “Terimakasih pak,”
Sebuah mukena, tasbih dan sekontak kurma beserta air zam-zam. Bapak itu pergi meninggalkan aku yang masih tercenung. Iya sepasang mata yang penuh cinta, itulah kisah tentang suami istri yang begitu setia pada istrinya.  Dan aku tak akan pernah melihat mereka lagi.
****

Tiada ulasan: