Ahad, 9 Oktober 2016

CERPEN : LAKI-LAKI TAK BERNAMA By Rosella Mecca





CERPEN : LAKI-LAKI TAK BERNAMA

Perpustakaan adalah rumah kedua bagiku. Tempat yang paling yang nyaman. Berkelana bersama deretan buku bisa melepaskan rasa penat yang mendera.  Disana hanya keheningan dan kebisuan yang tercipta, dengan puluhan pasang mata yang tenggelam dalam dunianya. Tak ada kebisingan tentang trend mode tas terbaru, make up yang tak luntur, sepatu artis A, tak  ada suara  sumbang tentang membicarakan dia itu begini, dia itu begitu, dia itu orangnya tak enak. Kedamainan disini damai dari suara suara sumbang dunia. Aku biasanya menegelamkan diri ber jam-jam bersama lautan buku, setiap saat dapat kunikmati tanpa harus mengeluarkan sepeserpun uang. Bila tak ada jadwal kuliah dan tugas yang harus dikerjakan maka aku akan berlabuh keperpustakaan.
Seperti biasa hari ini, aku pergi keperpustakaan setelah beres-beres dan merapikan ruangan sempit tempat tinggalku, rumah kostan. Tidak lupa,  mengajal perut dengan gorengan.  Aku merasa semua telah siap masuk kedalam tas. Dengan headset terpasang di telinga bersama dendangan lagu raihan kakiku melangkah keluar menuju  bis. Hari ini aku akan mencari referensi buku dari tugas yang diberikan dosen, sekaligus mencari buku bacaan yang bagus. Setelah menitipkan tas dan meletakkan sepatu di rak, aku memasukan nomor anggota di layar computer. Lalu bergegas masuk ke dalam ruangan, ruangan terlihat sepi hanya ada petugas dan berapa orang yang sedang sibuk membaca.
Aku langsung menghidupkan lattop setelah mendapatkan buku yang dicari. Perpustakaan ini menyediakan jaringan WIFI gratis. Program yang sangat membantu dan menambah daya tarik untuk terus berkunjun, selain membaca buka bisa internet gratis.  Aku mulai mengetik, menyelesaikan tugas kuliah. Belum setengah jam lattop sudah berbunyi tanda baterai low. Aku tersadar bahwa lupa membawah casan. Aku hanya bisa menepuk jidat dan menggigit bibir, mau pulang malas karena naik bis yang melelahkan dan hanya menghabiskan waktu  di perjalanan. Aku melihat sekeliling, mencari-cari siapa tahu ada yang memiliki tipe lattop yang sama. Mataku tertuju pada sebuah meja, lattop setipe dengan punyaku. Seorang laki-laki yang tenggelam dalam bacaan, sepertinya dia lagi tidak menggunakan lattop. Sejenak berpikir dan mencoba mengumpulkan keberanian, bangkit berdiri kearah sana.
“Maaf mas, boleh saya pijam casannya? Saya lupa bawah, lattopnya mati dan  harus mengetik tugas yang dikumpulkan hari ini?” 
Laki-laki itu tetap larutan dalam bacaan tanpa mengeserkan matanya dari buku yang dia pegang.   Hanya mengatakan  “Iya, silahkan”
“Benaran boleh,” kataku berusaha memastikan, dia hanya mengagukkan kepala. Aku menggeser  kursi dan duduk tak jauh dari dia. Kami larut dalam aktivitas masing-masing. Tak terasa  empat jam telah berlalu, sudah masuk dzuhur. Aku bergegas membereskan peralatan  dan meletakkan buku pada keranjang tempat buku yang selesai dibaca. Jam 2, aku ada jadwal kuliah, sisa waktu harus akan digunakan sholat dan makan siang. Aku meminta izin dan mengucapkan terimakasih padanya, lalu berlalu menghadap meja petugas untuk memijam buku bacaan.
****
Shubuh-shubuh aku mendapatkan sms  bahwa dosen berhalangan hadir, jadi tidak ada mata kuliah untuk hari ini. Tak ada pelabuhan yang  dituju kecuali keperpustakaan memijam buku dan mengembalikan buku yang selesai dibaca. Pagi-pagi sekali, aku telah bersiap tak perlu waktu lama bispun lewat membawa diriku ke depan perpustakaan.   Suasana halaman masih sepi, langkah kakiku suru, pertanyaanpun muncul apa mungkin hari ini perpustakaan libur tapi biasanya ada pemberitahuan. Aku menatap pintu masih tertutup rapat, benar dugaanku hari ini perpustakaan tidak buka. Membalikkan badan memutuskan untuk berkunjung keperpustakaan kampus.
“E…i perpustakaan jam 8.30 bukanya, ini hari sabtu. Kita kepagian datangnya?” Tegur seorang pria yang duduk di pinggiran dinding. Aku menghentikan langkah dan berbalik arah. Aku teringat sabtu minggu perpustakaan memang agak siang bukanya. Pria  yang  menegur adalah orang  tempat aku memijam casan kemarin. Aku  menunju ke arahnya.
“Kita Kepagian datangnya,” sapanya.
“Iya, kita kerajinan banget.”
“He…he seharusnya, petugas niti kunci kekita saja,” seloronya.
“Harusnya sih begitu, biar kita ngak usah nunggu, kayak orang habis kena becana,” selaku
“Ha…ha,”
Akupun ikut tertawa, dan mengambil posisi duduk tak jauh darinya. Dia tampak memegang buku harry potter.
“Suka baca novel juga?” Tanyaku
“Iya begitulah, sarapanan pagi.”
“Ehms, lainnya sarapan buku. Lah saya sarapan gorengan.”
“Ha…ha, kamu bisa saja. Daripada begong ngak ada kerjaan.”
“Betul, betul.. saya suka itu.”
“Kayaknya kamu suka baca juga?”
“Ngak juga sih, tapi mengisi waktu kosong. Seperti katamu daripada bengong. Tapi bacaanku yang ringan-ringan saja kayak  novel. Ngak kuat kalau yang berat-berat.”
“Ha…ha,” kami tertawa bersama.
 Tak lama berselang tampak petugasnya datang, kami sengaja membiarkan petugas masuk lebih dahulu. Kamipun beranjak masuk kedalam. Tentu petugas itu sangat hapal dengan wajah kami berdua. Seyum manis dia berikan.
Sejak saat itu, kami selalu terlibat obrolan, membicarakan tentang buku, membedah bersamanya dan bertukar pikiran tentang berbagai hal. Aku selalu keluar perpustakaan lebih dulu dari dia, karena biasanya ada jadwal kuliah dadakkan yang seketika datang.
Saat dia bertanya siapa penulis yang paling aku sukai, aku menjawab lumayan banyak ada kang Abik, Andrea hirata, dan Tere Leye. Dia bertanya lagi “apa aku memiliki buku mereka ?” Aku hanya terseyum kalau buku kang Abik dan Andrea hirata  mengkoleksi lengkap, kalau Tere leye  tak lengkap. Tapi hampir semua bukunya sudah dibaca, hasil mijam punya  teman. Berapa tahun terakhir aku harus memedam hasrat untuk membeli buku novel  karena kebutuhan kuliah yang begitu banyak dan terkadang tidak terduga. Buku-buku kuliah harganya mahal dan  terkadang terpaksa membeli agar tak bergantung dengan perpustakaan. Hanya boleh pijam satu buku. Belum lagi mempersiapkan  buku referensi  untuk skripsi kukelak biar tidak keteteran. Dari sekarang sudah dipersiapkan, jadi pas tiba waktunya semua beres.
Dia memiliki sudut padang yang berbeda denganku tentang buku favorit. Aku memfavoritkan penulisnya  karena bukunya laku di pasaran.  Tapi bagi dirinya seluruh buku yang layak  dibaca adalah favorit. Dia mengatakan bahwa buku itu dilahirkan dari tetesan pemikiran dan kerja keras seseorang. Dia mengatakan  bahwa suka memburu buku yang cuci gudang, selain harganya murah dan beralasan bahwa dari buku itu bisa belajar kenapa tidak di sukai pasar. Aku hanya mengaguk tanda setuju. Waktu terus bergulir tak terasa sudah dua minggu persahabatan ini terjalin, diskusi terus berjalan. Meski begitu kami tak pernah bertanya sekolah dimana, tinggalnya dimana dan pertanyaan-pertanyaan lain, sampai nama pun tak sempat  ditanyakan.  
Aku pribadi cuek, paling malas bertanya tentang hal pribadi seseorang apalagi pada orang yang baru dikenal. Saat mengobrol kami  hanya memakai aku dan kamu. Memang keterlaluan sampai namapun tak sempat di tanyakan mungkin keasyikan ngobrol.  Begitu juga dia tak pernah menanyakan siapa namaku, dan pertanyaan lainnya kami hanya membahas tentang buku.
“Kamu, saya lihat keperpustakaan terus, memang tidak ada kerjaan lain apa?” Tanyaku suatu ketika, sambil meletakkan lattop di dekatnya dan pergi ke rak buku.
“Aku lagi mengerjakan tugas akhir” jawabnya.
Tak lama berselang dia berujar “Tenang bukumu aman pada posisinya.” Kami memiliki kebiasaan sama, suka menyelipkan buku jauh dari padang mata seseorang di antara tumpukkan buku yang berbeda.  Bila waktu saat kami mau pijam mudah mencarinya dan karena jumlah  buku terbatas terkadang suka keduluan di pijam orang lain. Terpaksa trik jitu ini kami lakukan,  perbuatan yang tak patut di contoh. HPku bordering, suara sumbang terdengar dari teman sekelas yang memberitahu  bahwa  jam 11 harus ke kampus, ada pengarahan tentang tugas akhir. Aku bergegas setelah mengambil buku dan berpamitan  untuk pulang duluan.
Tugas akhir penulisan skripsi di majukan satu bulan dari recana sebelumnya. Kami diberi waktu seminggu untuk mengajukan judul. Berjuang habis-habis focus mencari materi skripsi dan konsultasi sehingga tak ada waktu lagi untuk keperpustakaan. Tidak lama dari itu aku membeli modem jadi bisa ngenet di kostan, tak perlu  menghabiskan waktu diluar mencari internet gratis. Aku tegelam dalam rutinitas dan dikejar-kejar waktu untuk menghadap pemimbing dan jadwal ujian yang kian dekat.
Aku bisa bernapas lega karena bisa selesai dengan tepat waktu. Aku teringat dengan sesuatu, buku yang  dipijam dan belum sempat di baca. Aku menempuk jidat dan garuk-garuk kepala, berapa denda yang harus dibayar atas keterlambatan pemulangan buku itu .
“Waduh, sudah hampir lima bulan aku tak berkunjung keperpustakaan pusda, semakin cepat semakin baik memulangkan buku ini,” desis hatiku. Denda yang harus aku terima delapan puluh ribu setelah mendapat potongan dari petugas karena sudah kenal. Aku  tak berniat untuk memijam buku lagi  takut lupa memulangkannya. Setelah aku terima cek denda. Petugas itu membuka laci  menyodorkan sebentuk kado dia mengatakan ini pemberian dari temanmu suka berkunjung ke perpustakaan. Dia bilang kalau nanti kamu keperpustkaan tolong berikan ini. Aku  memutuskan untuk pergi kekampus mempersiapkan syarat-syarat yudisium. 
Di kampus aku membolak-balik dan membuka bungkusan. Sebuah buku novel yang berjudul Sunset Bersama Ronsie penulis Tere Leye. Aku hanya berguman dalam hati buku keluaran terbaru  dari penulis Tere Leye, berapa hari yang lalu aku hanya bisa memadang buku ini  terpajang di toko buku,  hari  ini berada di tangan. Lembaran pertama kubuka,  berisi tulisan “Sahabat terimakasih atas diskusi yang terjalin, sangat membantuku dalam ujian akhir. Semoga sukses atas mimpimu. Mungkin suatu hari nanti kita bakal bertemu dalam waktu dan kesempatan yang berbeda. Ini novel yang bagus, kamu harus membaca dan berharap kamu suka." Aku hanya terseyum dalam hati, semoga suatu hari nanti kita bisa berjumpa dalam kesempatan dan kondisi yang berbeda.
“Tasya….Tasya…” teriak ibu dari dapur. Aku terperajat dari lamunan dan buku  novel sunset bersama ronsie terjatuh dari tangan. Tiga tahun telah berlalu sejak hari itu, dan aku masih suka memadangi buku ini. Entah kapan tuhan akan mempertemukan kami. Laki-laki tak bernama.
***
                                                                                                By Rosella Mecca

Tiada ulasan: