Teringat kejadian tahun 2010 saat nama tidak ada di koran.
Menyepi di kamar dengan linangan airmata. Masih tak percaya dan tidak yakin
akan semua itu. Padahal sudah berusaha pada titik maksimal. Belajar siang
malam, memakan habis soal-soal. Tapi kenyataan berkata lain, itu belum
rejekimu. Padahal aku telah percaya diri, dan mengagap bisa menjawab soal dengan baik. Apa yang dipelajari tidak jauh
berbeda dengan soal-soal ujian tersebut. Maka saat selesai tes, berkumpul bersama
teman membicarkan ujian soalnya lumanyan mudah. “Kayak deh, bakalan lulus”,
teman yang satu juga menyahut “Iya sepertinya, moga saja itu rejeki kita”. Saat
orangtua bertanya gimana ujian tadi dengan enteng menjawab semua terselesaikan
dengan baik. Tumbuh sebuah keyakinan bahwa pasti luluslah Hingga waktu pengumuman tiba, tidak ada namaku
disana. Berarti sudah jelas itu tidak lulus. Saat itulah tubuh terasa lemas,
sama sekali tak percaya (saat mungkin terlalu berharap dan pede). Bagai menelan
pil pahit akan kenyataan yang tak sesuai harapan. Apalagi ada berapa nama dalam daftar, aku mengenal orangnya dan
kredibilitasnya kurang baik. Berbagai pikiran negatif berseliweran.
Tumbuh sebuah keyakinan bahwa benar adanya isu yang
berkembang bahwa bila mau lulus pakai uang. Aku mulai berpikir lebih baik tidak
menjadi seorang pegawai daripada memakai jalan pintas. Toh bisa mencari
pekerjaan lain, dan buka usaha jualan buku, atau buka jasa photo copy dan
rental komputer. Itulah yang terpikir dalam benakku daripada menghabiskan uang
puluhan juta hanya untuk mendapat predikat. Sejak kejadian tak mengebu-gebu
seperti kemarin, tak membangun sebuah harapan lagi. Belajar dari kejadian tersebut
bahwa sangat menyakitkan bila terlanjur berharap tapi tidak terwujud.
Pada tahun 2012
ada lagi penerimaan pegawai, tetap ikut mendaftar tapi hanya sekedar ikutan,
tidak ada motivasi seperti kemarin. Meski tetap mempersiapkan, membaca
soal-soal yang sempat dipelajari. Memutuskan untuk ikut tes penerimaan pusat
bukan daerah. Dengan pertimbangan masih menjalankan kuliah jadi bila tesnya
dipalembang akan lebih mudah. Tapi belum
ikut tes baru pemberkasan sudah ditolak.
Menatap kalimat di layar lattop bahwa berkas ada ditolak silahkan mencoba dikesempatan
berikutnya. Semakin donwlah mengagap itu
pertanda dari tuhan. Memutuskan untuk fokus menyelesaikan kuliah.
Mbak mengatakan
bahwa ikut saja di
Lampung, masih buka pendaftaran. Akupun menjawab, sudahlah tahun ini ngak usah
ikut tes. Setelah berbagai wejangan dan bujukan, biar dia ada teman pas tes
kesana. Dengan setengah hati dan tentu
dibantu mbak mempersiapkan segala berkas akhirnya memutuskan untuk mendaftar.
Selang berapa minggu nomor ujian keluar, dan kebingungan mulai melanda dengan masalah
jadwal. Tanggal 5 september wisuda, tanggal 10 sudah mulai kuliah profesi dan
praktek lapangan di rumah sakit dan tanggal 8 tes itu dilaksanakan. Belum lagi
sibuk persiapan dan pembekalan sebelum terjun kelapangan. Dalam kebimbangan,
lebih condong untuk tidak ikut tes.
Sepulang dari kampus langsung kekost merebahkan diri,
minta tolong ke adik lihatin di internet berapa jumlah peserta. Dia bilang bahwa ada 1800 orang peserta perawat
formasi yang diterima cuma 36 orang . Semakin ciutlah hati, mustahil bakal
lulus. 1800:36 sebuah persaingan yang
sengit, setelah menimbang, sayapun memberi kabar ke orangtua bahwa ngak ikut. Bapak cuma berkata,
terserah kamu, mana yang terbaik. Di seberang sana mbak masih membujuk bahwa
besok kita berangkat pagi nebeng mobil teman, apapun yang mau dibawah sudah ia persiapkan.
Akupun kekeh untuk tidak ikut karena alasan bahwa itu hanya sia-sia saja
menghabiskan waktu.
Adzahan ashar berkumdang, lalu sholat. Selesai berdoa,
tiba-tiba muncul dorongan untuk ikut tes. Tanpa banyak kata, aku bilang “dek
mbak mau ikut teslah”. Adikku bengong,
hampir tak percaya, kok seketika bisa berubah tadi ngotot ngak mau ikut. Untung
masih dapat travel buat pulang. Sampai di rumah jam satu malam, langsung
istrahat. Dan jam 5 shubuh sudah langsung berangkat. Selama perjalan mengagap itu
bukan untuk ikut tes tapi malah refresing. Sampai dilokasi, semua tempat
penginapan sudah penuh. Tempat ujian mbak dan temannya di Islamic center khusus untuk guru sedangkan
saya di gedung serba guna thiou thou. Lautan manusia dan kendaraan memadati
setiap ruas, banyak yang tidak dapat tempat penginapan terpaksa tidur di pinggiran
masjid dan di mobil. Beruntung kami mendapatkan tempat tidur, di asarama Islam
center. Bahkan ada tiga orang yang
menawarkan tempat penginapan ke saya. Seorang ibu penjual pencil “Nak sudah
dapat penginapan belum?” tanyanya, Bapak-bapak saat saya baru selesai sholat
juga bertanya “sudah dapat penginapan belum?” dan seorang pedagang juga menanyakan hal yang sama padaku sedangkan
banyak disana orang-orang yang kebingungan menjadi tempat istrahat. (Dari itu
saya merasa bersyukur dan beruntung di beri kemudahan, sebuah tempat yang baru
pertama aku datangi)
Tibalah saat ujian, sama seperti waktu itu. Begitu
lancar dan mengalir menjawab soal. Keluar gedung dengan langkah ringan,
menunggu jemputan. Lautan manusia itu satu persatu meninggalkan lokasi dan aku
masih duduk disitu sambil mengobrol dengan seorang wanita juga sedang menunggu.
Sehingga tersisa hanya saya sendiri dan penjual minuman. Jemputan datang “lamanya
nak nunggunya, tadi macet soalnya?” kata ibuk temannya mbak, aku hanya
terseyum. “Gimana ujian, yakin ngak buat lulus?” “entahlah buk,” terbersit
dalam hati bahwa kemungkinan untuk lulus itu ada. Tapi buru-buru kutepis tak
ingin kejadian kemarin terulang, kecewa
saat semua tak sesuai bayangkan.
Kembali fokus kuliah profesi, praktek dirumah sakit. Dinas
pagi langsung kekampus ujian kasus, kerja kelompok, pulang kekost harus
menyiapkan materi, begadangpun menjadi rutinitas. Sama sekali tak memikirkan
hasil tes. Di ruangan teman-teman pada ribut bahwa nilai tes sudah keluar. Aku membuka internet, menatap
nilai yang lumayan, tapi masih tak percaya diri. Di palembang pengumuman kelulusan sudah keluar. Saudara sepupu yang pintar dan lulus kuliah di
Unsri dengan comulaude. Sudah mustahil
kalau dia tidak lulus, semua orang menyakini itu. Iseng-iseng memasukkan nomor
ujiannya dan nilaipun tertera, tercenung sejenak nilai kudapatkan lebih tinggi
sedikit dari dia. Terbersit dipikiran kemungkin
untuk aku lulus itu ada, tapi lagi-lagi
aku tepis rasa itu. Mana mungkin, pasti banyak yang nilainya lebih tinggi apalagi dengan peserta ribuan.
Saat mengantar pasien untuk St scan, dan duduk bersantai menunggu, aku iseng membuka HP. Kaget,
saat ada 20 panggilan tak terjawab dan 30 puluh sms masuk. Dari keluarga dan
teman, tak percaya ada yang mengucapkan selamat dan sms mbak yang mengatakan
bahwa namaku ada dikoran dan internet. Masih terasa mimpi, terpaku menutup muka
dengan tangan. Benarkah ini, tak berapa
lama bapakpun menelpon lagi dan mengatakan hal serupa. Hampir mau meloncat tapi
ingat di tempat umum hanya bisa seyum-seyum sendiri. Teman satu kelompok yang
kebetulan juga mengantar pasien “Kenapa kak seyum-seyum sendiri”
“Kakak lulus Cit?”
“Benaran tah kakak?”
“Iya” kami berbagi kebahagiaan
Ada telpon masuk dari mbak, dia memberi kabar bahwa
ada kemungkinan untuk tes kedua kamampuan
bidang, jadi belum sepenuhnya
lulus. Kebahagian itu seketika sirna, bila memang ada tes lagi, saya tidak akan
ikut. Kemungkin untuk lulus itu pasti kecil. Tapi ternyata, tes itu hanya untuk
formasi guru. Senang tak terkira benar adanya. Bilang memang itu rejeki kita
pasti tidak akan tertukar.
Saat sudah kerja di rumah sakit, wanita yang kutawari
minum saat menunggu jemputan, dan sempat
menjadi teman mengobrol juga lulus. Dan aku sama sekali tak mengingat itu. Saat
mengantar pasien keruang operasi
“Kamu masih ingat saya ngak?”
“Ingatlah, mbak. Orang mbak kerja di ruangan operasi? ”
kataku sambil terseyum
“Ngak, saat tes kemarin. Kamu yang kayak orang hilang”
dia berseloro. “Kamu yang menawarkan minuman itu?” mengingat kembali kejadian itu.
“Iya mbak aku ingat? Ternyata ngak nyangkanya kita
bisa lulus dan ketemu?”
Dari disitu belajar bahwa bila itu rejeki kita pasti
tak akan tertukar jangan berhenti untuk berusaha dan berdoa.
****
Tiada ulasan:
Catat Ulasan