Dia wanita yang kupanggil ibu, terkadang tampak begitu
cerewet mengometari setiap tingkah pola, tapi itulah yang dirindu. Kecerewetan
bagian dari kasih agar kita tak pernah keliru apalagi salah langkah. Bukankah
orang yang sayang akan bergegas
berbicara, bila kita melakukan kesalahan. Tak akan pernah sungkan memberikan
peringatan. Tak henti-henti memberi wejangan bahwa itu tidak baik untuk
dilakukan. Merengkul hati dengan kelembutan. Mengulurkan tangan sebagai tempat
berpegangan agar tak salah jalan.
Dia
wanita yang kupanggil ibu, rela bangun dipekatnya malam saat kelaparan. Menganti popok dengan ketelatenan.
Melatih untuk meranggak, berjalan dan lalu berlari. Rela menghabiskan waktu
untuk memastikan diri tumbuh dengan baik. Rela berkorban apapun demi mewujudkan
cita-cita anaknya. Membimbing untuk
tetap meranjut impian di tengah pekatnya malam. Dan tak sungkan mereka berperan
seperti lilin rela terbakar untuk menerangi. Tetap memberikan seyum terindah
meski anaknya tak bisa berbuat sesuai harapan.
Dia
wanita yang kupanggil ibu, terkadang berpeluh keringat menyapuh hari dengan
penuh semangat demi seutas cinta untuk anaknya. Mengkais rejeki untuk
memastikan bahwa anak bisa mendapatkan asupan gizi yang baik dan pendidikan
cukup. Tak ada keluh kesah, hanya sebuah semangat penuh cinta. Tak ada harapan
tertinggi dihatinya hanya ingin menatap anak bisa tumbuh dan berguna.
Dia
wanita yang kupanggil ibu, sampai dengan saat ini belum ada yang bisa diberi
kepadanya, belum ada hal yang bisa dibanggakan, dan belum bisa membalas itu
semua meski hanya seujung kuku. Tapi berharap suatu hari nanti bisa bikin
mereka terseyum bahagia karena telah melahirkanku.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan