Asap sudah menjadi cerita lama yang selalu bersemi saat kemarau datang menyapa.
Seperti banjir di Jakarta saat musim hujan tiba. Begitulah sekiranya musibah
asap ini, hampir tiap tahun selalu terjadi. Entah siapa oknumnya semua masih terasa
abu-abu. Kisah kabut asap, seolah tidak berending terus berulang sampai sekarang. Tulisan ini sama sekali tidak untuk mengeluh,
menghina apalagi memaki. Cuma sekedar curahan hati, yang pernah berada pada posisi
itu diterkam kabut di kota Palembang berapa tahun silam.
Pernah
kita membakar sampah di rumah, tentu asap akan berhembus kemana-mana, dan
dengan segera kita akan menjauh ketempat aman menghindar dan menutup muka. Bau yang
menyengat dan bila kita terpapar akan reflek batuk-batuk. Bila ada tetangga
yang membakar sampah tersebut dan asapnya sampai kerumah kita. Tentu ada
perasaan dongkol dan rasanya pengen marah. Itu hanya membakar sampah, bagaimana bila ceritanya
hutan yang dibakar. Sudah menjadi rahasia umum, pasti akan mengempung setiap
penjuru dan kotapun menjadi berkabut.
Tak ada tempat untuk bernapas. Dada terasa sesak, jangan tanya tentang penyakit
pernapasan seperti batuk, pilek dan tenggorokan terasa sakit itu sudah menjadi
oleh-oleh. Aku pernah mengalami rasanya dikepung asap, saat menuntut ilmu di
Palembang berapa tahun silam. Harus
tetap keluar rumah untuk beraktivitas, tak mungkin untuk mengurung diri dan izin tidak masuk. Kemana-kemana mengunakan
masker. Aku tahu rasanya mengunakan masker sungguh tidaklah nyaman karena saluran napas seakan
tertutup, tapi itulah kewajiban mau tidak mau demi kesehatan. Alhasil, berapa
hari kemudian terserang batuk padahal tak lepas dari masker. Aku tak
membayangkan bagaimana mereka yang berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, terpapar
kabut asap tersebut. Sementara tak ada pilihan, rutinitas harus terus berjalan.
Semoga mereka tetap kuat dan hujan segar turun menyapa.
Pak
Jokowi, ku tahu bebanmu menjadi seorang presiden sangatlah berat. Saya sendiri sama
sekali tidak sanggup, jauh amat kalau mau menjadi presiden. Menjadi ketua kelas
saja saya tidak sanggup. Ku mengerti kerjamu tentu sangatlah berat, mengurusi
milyaran rakyat Indonesia, dengan beragam permasalahan tak hanya kabut Asap. Ku
tahu itu pak. Maka dari itu, engkau termasuk orang yang hebat, memiliki
kemampuan dan jiwa kepemimpinan. Selain itu, memiliki keistimewaan bisa mengambil kebijakan, suara bapak didengar
banyak orang, bisa memerintah dan
mengerahkan massa sebanyak mungkin, meminta bantuan pada lapisan elemen. Ku
tahu bapak telah berbuat maksimal untuk kabut asap ini, berbagi simpati dengan
terjun langsung ke lapangan. Tapi pak, andai massa bisa dikerahkan lebih banyak
lagi dan tiap lapisan dikerahkan mungkin saja asap ini akan lebih cepat padam. Suara
bapak tentulah didengar, kata-kata bapak pasti diikuti karena bapak seorang
pemimpin yang memiliki wewenang.
Untuk
engkau oknum abu-abu, mungkin saja sedang terseyum bahagia menikmati secangkir
kopi, dan sedikit mengluarkan jurus simpati terhadap becana ini. Tak mengapa
nikmati saja semua itu, manisnya segelas
kopi, diatas jeritan orang yang tenggorokannya tercekat oleh racun-racun
bernama asap. Sekarang engkau masih bisa merasakan kebebasan, menikmati udara
segar dengan beragam aktivitas. Tapi ingat hidup tidaklah lama, tuhan tak
tidur. Suatu ketika engkau akan merasakan apa yang mereka rasakan, tidak
sekarang tapi nanti, bila tidak didunia bisa jadi di akhirat, tak ada yang
kekal bukan. Aku tak ingin memakimu, percuma rasanya bila kata-kata itu keluar
toh hanya menghabiskan energi saja. Selain itu, mungkin hatimu telah lenyap
terbakar api. Bila memang, memiliki hati
tentu berpikir dahulu sebelum
mencetuskan ide ini. Berpikir bagaimana kalau yang berada diposisi ini ada
keluargamu atau dirimu sendiri, merasakan pahitnya kabut asap yang menebarkan penyakit
dan menelan korban. Tapi ya sudahlah, biarlah tangan tuhan yang bekerja, bila
hukum di Indonesia tak bisa menjerat dirimu.
Untuk
saudaraku yang terkena asap, kami disini hanya bisa melapaskan doa agar becana ini segera
berakhir. Hanya itu yang bisa kami lakukan, hanya meminta kepada tuhan agar
hujan segera turun. Anak-anak bisa bermain, sekolah dan orangtua bisa bekerja mencari nafkah. Semua
orang bisa kembali menikmati udara yang
segar.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan