Khamis, 17 Disember 2015

Review Buku : Turning Seventeen By Artie Ahmad




Judul                           : Turning Seventeen
Penulis                         : Artie Ahmad
Penerbit                       : Elex Media Komputido
Tahun Terbit                :2015
Jumlah Halaman          : 208
            Pada bab awal novel, alur ceritanya cenderung datar dan biasa. Jujur saya katakan bahwa bisa menembak alur ceritanya bahwa Sekar hamil dari dia menunjukan gejala lemas dan berkaitan dengan dia yang suka sembunyi-sembunyi  saat bertemu dengan pacarnya.Saya juga bisa menembak bahwa yang menghamilinya itu kakak dari sahabatnya sendiri, ini terbaca saat dia menjenguk sekar yang sedang sakit bersama Kea. Saya  menemukan gejolak  konflik dan bikin grerget pada bab-bab akhir, saat Prila meninggal. Saat Dirza menulis sebuah surat, ehms saat itulah merasa terhayut dalam novel ini. Penulis berhasil mengaduk-aduk hati pembaca.
            Novel ini berkisah tentang persahabatan, Kea, Dirza, Sekar, Prila, Zizi. Anak remaja yang sedang duduk dibangku akhir sekolah. Menatap mimpi akan masa depan. Mereka yang berbeda karakter dan kebiasaan tapi bisa menyatu. Ada yang pediam, kutu buku, miss kecantikan, hoby olahraga. Mereka melewati hari-hari penuh warna-warni layaknya anak SMA pada umumnya, selain belaja juga suka jalan barang. Kea yang memedam perasaan kepada Prana saudara kembar prila tapi cinta yang tak terungkapkan tapi bertepuk sebelah tangan karena prana lebih menyukai wanita lebih tua. Konflik mulai bermunculan dari orangtua Dirza yang tidak rukun karena ayahnya ketahuan selingkuh. Dari Zizi yang ketangkep pak polisi karena berteman dengan seorang yang suka makai. Sekar yang ketahuan hamil, dan sampai kepergian dari Prila.
            Aku menoleh ke Bima yang dari tadi Cuma diam. Sejak bertemu dengan Sekar dulu, kakakku yang seorang  playboy ini jadi terlihat begitu jinak kalau di depan sekar. (Hal, 88)
            Benar! Ngak mungkin kamu bisa hamil. Kamu bukan cewek berengsek seperti yang Prila katakan. Kalau aku yang hamil, itu masuk akal. Aku sedikit berengsek dan pembangkang, sedangkan kamu?” Zizi mengegam ujung meja. (Hal, 115)
            “Bukan kamu yang bilang, kalau kamu mau menjadi sahabatku tiga puluh, bahkan empat puluh tahun lagi? Lalu kenapa kamu pergi secepat ini? Kita baru berteman selama enam tahun, bukan?” (Hal, 166)
            Membaca novel ini berasa tilas balik pada masa-masa SMA. Pergolakan konflik yang terjadi sesuai dengan kondisi zaman ini. Pesan moral yang ingin disampaikan penulispun sampai. Apa yang kita tanam itulah yang dituai. Kejarlah mimpimu tanpa pantang menyerah, pasti kamu bisa mendapatkannya. Kita tak  selamanya bisa bersama dengan para sahabat. Pesan terakhir, sahabat  akan selalu ada saat bahagia dan sedihmu dan dialah yang akan menjadi saksi dalam perjalanan hidupmu. Novel remaja yang pengemasan sederhana dan naturual tanpa sebuah konflik yang dibikin-bikin.


Tiada ulasan: