Khamis, 22 Oktober 2015

Asap Oh Asap Cerita Lama Yang Selalu Bersemi



Asap sudah menjadi cerita lama yang  selalu bersemi saat kemarau datang menyapa. Seperti banjir di Jakarta saat musim hujan tiba. Begitulah sekiranya musibah asap ini, hampir tiap tahun selalu terjadi.  Entah siapa oknumnya semua masih terasa abu-abu. Kisah kabut asap, seolah tidak berending  terus berulang sampai sekarang.  Tulisan ini sama sekali tidak untuk mengeluh, menghina apalagi memaki. Cuma sekedar curahan hati, yang pernah berada pada posisi itu diterkam kabut di kota Palembang berapa tahun silam.  
            Pernah kita membakar sampah di rumah, tentu asap akan berhembus kemana-mana, dan dengan segera kita akan menjauh ketempat  aman menghindar dan menutup muka. Bau yang menyengat dan bila kita terpapar akan reflek batuk-batuk. Bila ada tetangga yang membakar sampah tersebut dan asapnya sampai kerumah kita. Tentu ada perasaan dongkol dan rasanya pengen marah. Itu hanya  membakar sampah, bagaimana bila ceritanya hutan yang dibakar. Sudah menjadi rahasia umum, pasti akan mengempung setiap penjuru dan kotapun menjadi berkabut.  Tak ada tempat untuk bernapas. Dada terasa sesak, jangan tanya tentang penyakit pernapasan seperti batuk, pilek dan tenggorokan terasa sakit itu sudah menjadi oleh-oleh. Aku pernah mengalami rasanya dikepung asap, saat menuntut ilmu di Palembang berapa tahun silam.  Harus tetap keluar rumah untuk beraktivitas, tak mungkin untuk mengurung diri dan  izin tidak masuk. Kemana-kemana mengunakan masker. Aku tahu rasanya mengunakan masker sungguh  tidaklah nyaman karena saluran napas seakan tertutup, tapi itulah kewajiban mau tidak mau demi kesehatan. Alhasil, berapa hari kemudian terserang batuk padahal tak lepas dari masker. Aku tak membayangkan bagaimana mereka yang berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, terpapar kabut asap tersebut. Sementara tak ada pilihan, rutinitas harus terus berjalan. Semoga mereka tetap kuat dan hujan segar turun menyapa.
            Pak Jokowi, ku tahu bebanmu menjadi seorang presiden sangatlah berat. Saya sendiri sama sekali tidak sanggup, jauh amat kalau mau menjadi presiden. Menjadi ketua kelas saja saya tidak sanggup. Ku mengerti kerjamu tentu sangatlah berat, mengurusi milyaran rakyat Indonesia, dengan beragam permasalahan tak hanya kabut Asap. Ku tahu itu pak. Maka dari itu, engkau termasuk orang yang hebat, memiliki kemampuan dan jiwa kepemimpinan. Selain itu, memiliki   keistimewaan  bisa mengambil kebijakan, suara bapak didengar banyak orang,  bisa memerintah dan mengerahkan massa sebanyak mungkin, meminta bantuan pada lapisan elemen. Ku tahu bapak telah berbuat maksimal untuk kabut asap ini, berbagi simpati dengan terjun langsung ke lapangan. Tapi pak, andai massa bisa dikerahkan lebih banyak lagi dan tiap lapisan dikerahkan mungkin saja asap ini akan lebih cepat padam. Suara bapak tentulah didengar, kata-kata bapak pasti diikuti karena bapak seorang pemimpin yang memiliki wewenang.
            Untuk engkau oknum abu-abu, mungkin saja sedang terseyum bahagia menikmati secangkir kopi, dan sedikit mengluarkan jurus simpati terhadap becana ini. Tak mengapa nikmati saja semua itu,  manisnya segelas kopi, diatas jeritan orang yang tenggorokannya tercekat oleh racun-racun bernama asap. Sekarang engkau masih bisa merasakan kebebasan, menikmati udara segar dengan beragam aktivitas. Tapi ingat hidup tidaklah lama, tuhan tak tidur. Suatu ketika engkau akan merasakan apa yang mereka rasakan, tidak sekarang tapi nanti, bila tidak didunia bisa jadi di akhirat, tak ada yang kekal bukan. Aku tak ingin memakimu, percuma rasanya bila kata-kata itu keluar toh hanya menghabiskan energi saja. Selain itu, mungkin hatimu telah lenyap terbakar api. Bila  memang, memiliki hati tentu berpikir  dahulu sebelum mencetuskan ide ini. Berpikir bagaimana kalau yang berada diposisi ini ada keluargamu atau dirimu sendiri, merasakan pahitnya kabut asap yang menebarkan penyakit dan menelan korban. Tapi ya sudahlah, biarlah tangan tuhan yang bekerja, bila hukum di Indonesia tak bisa menjerat dirimu.
            Untuk saudaraku yang terkena asap, kami disini  hanya bisa melapaskan doa agar becana ini segera berakhir. Hanya itu yang bisa kami lakukan, hanya meminta kepada tuhan agar hujan segera turun. Anak-anak bisa bermain, sekolah dan  orangtua bisa bekerja mencari nafkah. Semua orang bisa kembali menikmati udara  yang segar. 

Tiada ulasan: